YUMA NARA THE EXPLORER

 YUMA NARA THE EXPLORER

“Atok, Nara pulang!!!” Teriak gadis berdarah Melayu kelahiran November 2002 ditengah guguran bunga durian yang bermekaran saat itu. Tak kunjung mendapat jawaban dari sang kakek yang dipanggilnya Atok tersebut, akhirnya Nara berjalan kearah pintu samping untuk lebih dekat agar Atok dapat mendengar suaranya. Belum sempat tangannya menggapai gagang pintu, Nara dikejutkan dengan dua ekor kucing yang berkelahi dan berlari mendekatinya. Saat hendak melerai kedua kucing yang sudah siap untuk saling menyerang itu, tiba-tiba datang laki-laki yang berteriak sambil berlari kearah Nara.

“Jangan pegang Jahe!!!” Cegah Yuma agar Nara menjauh dari dua kucing tersebut. Merasa bingung dengan ucapan laki-laki berbadan tinggi dengan rambut hitam kecoklatan yang tiba-tiba datang entah dari mana, akhirnya Nara kembali melanjutkan niatnya untuk mengambil salah satu kucing yang sedang berkelahi itu untuk melerai. Namun, lagi-lagi Yuma berteriak agar Nara menjauh dari kedua kucing itu.

“Jangan pegang Jahe!!!” Ucap Yuma sekali lagi. 

“Siapa yang megang Jahe sih?!” Sanggah Nara dengan sedikit emosi karena memang tidak ada tanaman jahe disekitarnya.

“Makanya kamu mundur jangan deket-deket sama Jahe” ucap Yuma sambil berjalan kearah kucing berwarna putih dengan mata biru dan segera menggendongnya. 

“Aku mau ambil kucing ini bukan jah--” belum sempat Nara menyelesaikan ucapannya tiba-tiba suara pintu terbuka dan menampilkan Atok yang siap menyambut kedatangan Nara cucu kesayangan yang sudah 10 tahun tidak bertemu langsung dan hanya bertemu kangen via video call. 

“Cucu Atok sudah sampai” Sambut Atok dan langsung memeluk Nara.

“Atok, aku pulang ya” potong Yuma dan langsung berlari ke rumah sebelah dengan menggendong kucing yang ternyata namanya adalah Jahe. 

Belum selesai dengan kekesalannya, akhirnya Nara terpaksa menyerah dan mengikuti Atok masuk ke dalam rumah menuju dapur untuk bertemu Uwan yaitu panggilan Nara untuk Neneknya.

“Kalau sudah minum air Siak, sejauh apapun kamu pergi pasti akan kembali lagi ke Siak” ucap Atok yang berjalan beriringan dengan Nara yang memeluk pinggangnya dengan sayang.

19 Juni 2022 Nara pulang ke tanah bertuah Siak Sri Indrapura.

Sudah dua hari sejak kedatangan Nara di rumah Atok dan dihabiskan dengan beristirahat dikamarnya. Hari ini Nara berniat untuk keluar rumah demi mengobati kerinduan dengan kampung halamannya. Melewati ruang keluarga dengan kesan klasik dan dipenuhi koleksi beberapa kamera tua milik Atok yang dipajang di lemari kaca, atensi Nara beralih pada dua tumpuk album foto yang salah satunya bertuliskan “Petualangan Yuma & Nara”. Saat dibuka, didalamnya dipenuhi dengan foto dua anak laki-laki dan perempuan sejak bayi hingga sekitar umur 10 tahun. Sampai pada lembar terakhir ternyata ada satu foto yang hilang. Karena rasa penesarannya yang tinggi Nara memutuskan untuk bertanya kepada Atok dan Uwan.

 “Atok, di album ini semuanya foto aku sama Yuma tetangga kita yang dulu tinggal di sebelah kan?” 

“Iya Ra, itu semua foto jepretan Atok dari kamu bayi sampai udah bisa main kemana mana bareng Yuma” jawab Atok sambil menyeruput kopi buatan Uwan.

“Terus foto di halaman terakhir kok hilang?”

“fotonya tidak hilang, tapi dibawa sama Yuma. Dia rindu sekali sama kamu tapi kamu nggak pulang lagi kesini”

“Sekarang Yuma tinggal dimana? Pindahnya nggak jauh kan Tok?” 

“Yuma tidak pindah Ra, dia masih tinggal di sebelah. Coba kamu kesana” Atok terkekeh dengan pertanyaan Nara yang mengira Yuma sudah pindah dan tidak tinggal disana lagi.

Nara segera mendatangi tetangga sebelah rumahnya yang sudah tinggal disana sejak awal tahun 2000 hingga saat ini. 

“Yuma, Assalamu’alaikum” Ucap Nara sambil mengetuk pintu. 

“Waalaikumussalam, sebentar”

Tak berselang lama pintu rumah tersebut dibuka dan menampilkan sosok yang dua hari lalu membuat Nara sedikit emosi karena ucapannya yang tidak jelas tentang “Jahe” si kucing putih kesayangan Yuma. 

“Loh?! Kamu yang kemarin neriakin aku kan?” Nara kaget sekaligus bertanya-tanya.

“Aku cucunya Atok, mau ketemu sama Yuma. Yumanya ada?” lanjut Nara.

“Kamu Nara? Nara Delana temen aku waktu kecil? Aku Yuma Ra” Jawab Yuma dengan antusias dan mata yang sedikit berkaca.

“Iya aku Nara, kamu beneran Yuma? Kenapa beda sama Yuma waktu kecil?” Nara masih tidak percaya bahwa laki-laki di hadapannya adalah Yuma teman masa kecilnya.

“Apanya yang beda?”

“sekarang kamu...” Nara menjeda ucapannya.

 “Ganteng...” Lanjutnya dengan suara yang sangat pelan hingga tak terdengar oleh Yuma.

“Apa Ra?” 

“Nggak, bukan apa-apa”

Nara sudah duduk manis di kursi teras rumah Yuma, dan tidak satupun dari mereka yang berbicara.

“Yuma, jadi tadi aku buka album foto Atok yang isinya foto aku sama kamu waktu kecil. Terus di bagian paling akhir ada satu foto yang hilang, dan kata Atok ada di kamu” Nara memberanikan diri untuk memulai obrolan. 

“Iya Ra fotonya aku yang simpen. Bentar aku ambil dulu” Yuma segera bangkit dari duduknya dan masuk kedalam rumah.

“Nih”

“Ini waktu aku ulang tahun kan?” Nara memastikan kapan foto itu diambil.

“Iya Ra, waktu kamu ulang tahun dan hari terakhir sebelum kamu pindah ke Jakarta” Jawab Yuma sambil mengenang foto yang sekarang dipegang Nara. 

“Kamu masih inget gak?” Pertanyaan Nara menggantung sengaja untuk melihat apakah Yuma ingat atau tidak

“Janji buat keliling komplek naik sepeda?” tebak Yuma dengan sangat yakin.

“iya bener, kirain cuma aku yang inget”

“Ayo besok aku ajak kamu keliling. Tapi gak naik sepeda keliling komplek, kita naik motor keliling Siak” 

“aye aye captain!” Jawab Nara sambil berdiri dan memberi hormat kepada Yuma seperti seorang prajurit. 

Pukul 5 pagi rumah Atok sudah dihebohkan dengan suara ketukan pintu karena ulah Yuma yang berniat menepati janjinya mengajak Nara berkeliling Siak.

Tok.. tok.. tok...

“Atok...”

“Atok.. Nara udah bangun belum? Yuma mau ajak ke Dusun” Yuma bertanya kepada Atok sambil terus mengetuk pintu. Dusun yang dimaksud adalah kebun durian dimana orang Melayu biasa menyebutnya dengan sebutan Dusun.

“Sebentar Yum, Nara masih ambil jaket” Sambut Atok sambil membukakan pintu.

“Ayo aku udah siap” Nara berlari dari kamarnya sambil memakai hoodie tidak lupa berpamitan dengan Atok dan Uwan.

“Yuma.. Nara.. nggak sarapan dulu?” Suara Uwan dari arah dapur menginterupsi agar Yuma dan Nara sarapan sebelum berangkat. 

“Nanti sarapan lontong sayur di tempat Bu Darwisah aja Uwan” Jawab Yuma sambil memberikan helm kepada Nara.

“kita berangkat dulu ya Tok, Assalamu’alaikum”

22 Juni 2022 Petualangan Yuma & Nara dimulai kembali.

“Kita mau kemana Yum?” Nara mulai bingung karena motor yang dikendarai malah menuju kearah hutan. Padahal ia mengira bahwa Yuma akan mengajaknya berkeliling kota dan ketempat-tempat ramai lainnya. 

“Kita mau ke dusun Ra, beli durian”

“kok gak beli di pinggir jalan aja sih?” Nara masih bingung kenapa harus membeli durian di kebun padahal sepanjang jalan yang mereka lewati telah banyak lapak-lapak yang menjual durian. 

“kalau beli di dusun lebih murah Ra, soalnya durian yang dijual di lapak pinggir jalan ini bukan durian dari kebun si penjualnya. Kebanyakan dari mereka gak punya kebun dan beli dari yang punya kebun terus dijual lagi dengan harga yang lebih mahal” 

Penjelasan Yuma berhenti saat motor yang dikendarai telah sampai di ujung jalan masuk menuju dusun durian. Yuma memarkirkan motornya, melepas helm dan hoodie yang dikenakan menyisakan kaos putih berlengan pendek. Benar yang Yuma katakan tadi bahwa sekarang dihadapan mereka bukanlah suasana hutan yang sepi dan menyeramkan melainkan suasana kebun durian yang ramai berlalu lalang para penjual yang membeli durian dari para pemilik kebun, tidak sedikit pula orang yang sengaja datang membeli durian untuk konsumsi pribadi seperti yang Yuma dan Nara lakukan. 

“Durian dari Dusun Kampung Agam ini paling terkenal dari semua kebun durian di Siak. Orang-orang biasanya kalau mau makan durian Siak pasti datangnya ke sini atau biasa orang luar kenalnya dengan sebutan durian Sungai Mempura” Kata pemilik salah satu kebun durian sambil memilihkan beberapa durian yang bagus untuk Yuma dan Nara bawa pulang. 

Selesai dengan kegiatan memilih-milih durian yang bagus untuk dibeli, kini Yuma dan Nara sudah melajukan motornya ke tujuan selanjutnya sambil sesekali mengobrol dan membahas topik-topik random. 

“Kamu tau gak Ra kenapa tadi Bapaknya bilang kalau durian dusun Kampung Agam rasanya paling enak?” Yuma bertanya sambil memelankan laju motornya.

“Karena tanahnya subur mungkin” jawab Nara singkat dengan nada sedikit kebingungan.

“iya bener itu juga termasuk faktor yang bikin durian disana enak. Tapi faktor lainnya ada di dalam sejarah Ra. Jadi dulu waktu masih zaman kerajaan, daerah-daerah di Siak ini diminta buat ngirim upeti ke kerajaan dan salah satunya itu durian. Nah dulu daerah lain selalu ngirim durian yang kualitasnya kurang baik, beda sama Sungai Mempura yang selalu ngirim upeti durian yang paling bagus buat kerajaan. Karena Sultannya seneng, akhirnya Sungai Mempura kayak didoain gitu kalau sampai kapanpun durian di sana bakalan jadi durian yang paling enak dibandingkan sama durian manapun. Dan bener Ra, kapan-kapan kamu cobain deh makan durian dari dusun lain, pasti rasanya beda sama durian Mempura walaupun jenis duriannya sama. Yang aku ceritain ini bukan dongeng ya Ra, tapi emang sejarah aslinya gitu” 

“Keren banget ya, karena kebaikan masyarakat Mempura zaman dulu akhirnya kita yang menikmati hasilnya. Sampai sekarang masih bisa makan durian seenak itu dan namanya dikenal banyak orang” Nara sangat kagum dengan cerita Yuma. 

“Itulah kenapa Ra kalau ikhlas itu tinggi nilainya. Bagi mereka dimasa itu buat nyerahin durian yang paling bagus ke kerajaan bukan sesuatu yang mudah. Tapi rasa tulus ikhlas yang udah ada di hati makanya mereka rela cuma makan durian yang biasa dan ngasi yang terbaik buat dijadiin upeti” 

Nara terdiam sambil mencerna semua yang Yuma katakan hingga menimbulkan keheningan. Sampai akhirnya Yuma kembali bertanya.

“Kamu kenapa pulang? Emang gak kuliah?”

Sebelum menjawab pertanyaan Yuma, terdengar helaan napas Nara dan raut muka yang berubah menjadi sendu terlihat oleh Yuma dari kaca spion.

“Ayah sakit Yum, jadi aku harus ambil cuti kuliah. Soalnya biaya kuliah harus dialokasiin buat berobat ayah” Jawab Nara pelan. 

“Terus sedih kamu sekarang karena apa? Karena ayah sakit atau...” Yuma berusaha mengetahui alasan Nara.

“Aku merasa gagal soalnya bakalan gak bisa lulus tepat waktu. Aku juga bingung kalau gak kuliah aku harus ngapain, aku gak berguna Yum”

“Kamu belum lupa kan Ra sama obrolan kita barusan tentang durian. Sebenernya itu berlaku buat semua orang termasuk aku dan kamu bukan cuma masyarakat Mempura zaman dulu. Karena gak semua hal berharga yang kita relain bakal jadi kerugian, tapi dengan hati yang ikhlas suatu saat kamu bakal panen kebaikan dari arah yang gak terduga. Kalau orang Mempura rela nyerahin durian terbaik mereka untuk Raja, kamu juga mampu Ra buat cari ilmu diluar kuliah biar Ayah sama Bunda tenang gak kepikiran apakah kebutuhan kamu cukup ditengah biaya berobat Ayah yang nggak murah”

Nara lagi-lagi terdiam dan bingung harus menjawab apa dari perkataan Yuma.

“Sekarang kamu tanya deh sama diri sendiri, kamu lebih pengen Ayah cepet sehat atau kamu bisa cepet balik kuliah. Aku bukan mendukung kamu buat gak kuliah ya Ra, tapi emang kehidupan gak selamanya berpusat sama kita. Setiap nyawa yang dihidupkan akan selalu dihadapkan sama pilihan”

“Aku pengen Ayah sembuh Yuma... sakit banget rasanya liat Ayah keluar masuk rumah sakit” Nara menjawab dengan suara bergetar dan air mata yang siap meluncur jatuh jika matanya berkedip. 

Yuma memberhentikan motornya tapi tidak berniat untuk turun.

“Ayah bakal sembuh Ra. Aku gak tau keajaiban apa yang menunggu kamu di depan sana. Tapi tolong kamu percaya kalau hal baik apapun yang kamu yakini, Tuhan bakal ngasi yang lebih baik dari itu”

“yang bisa aku jamin sekarang cuma perut kamu bakalan berhenti demo kalau kita turun terus makan lontong sayur paling enak buatan Bu Darwisah, ayo turun Ra” Ucap Yuma yang sedang membuka helm sambil memperhatikan Nara dari kaca spion.

Nara baru sadar kalau dari tadi mereka sudah sampai di depan warung lontong sayur yang tidak begitu luas tapi pelanggannya sudah ramai mengantre. Buru-buru ia menghapus sisa air matanya dan tertawa melihat Yuma dari spion. 

Selasai dengan kegiatan sarapan lontong sayur, mereka pulang ke rumah Atok untuk makan durian bersama Atok, Uwan, dan Umi, Abah Yuma. 

“Jalan-jalannya kita lanjutin besok pagi Ra”

“Jangan kepagian ya, dingin hehe..”

Tidak seperti kemarin, hari ini Yuma menjemput Nara jam 9 pagi. Karena udara yang sudah mulai hangat mereka hanya mengenakan kaos lengan pendek dan topi.

“Hari ini mau kemana?” Tanya Nara antusias

“Motornya mana?” Nara kembali bertanya sebelum Yuma menjawab pertanyaan yang pertama.

“Hari ini kita jalan kaki Ra biar sehat, yuk”

Baru sampai di depan pagar rumah Atok, Nara dan Yuma harus berhenti karena Atok menyusul sambil membawa kamera.

“Jangan berangkat dulu, Atok sudah lama tidak memfoto kalian berdua. Ayo kita foto dulu” Atok sudah bersiap dengan kamera kesayangannya. 

Selesai dengan prosesi foto dadakan bersama Atok, Nara dan Yuma melanjutkan kegiatan yang katanya jalan kaki biar sehat itu. 

Mereka berjalan di sepanjang tepian sungai Siak yang memang selalu dijadikan sebagai tempat olahraga, piknik, atau hanya duduk mencari ketenangan. 

“Kamu tau gak Ra kita sekarang lagi jalan dimana?”

“Tau! Semua orang yang dateng ke Siak juga tau tempat ini namanya apa. Turap kan?” Nara menjawab dengan semangat.

“Iya bener, tapi nama sebenarnya bukan turap”

“Beneran ada nama lainnya?” Nara mulai bingung, karen kebanyakan orang tau bahwa tepian sungai Siak ini bernama Turap.

“Daerah ini dulu namanya Kampung Indragiri Ra. Bahkan nama Siak Sri Indrapura juga salah satunya disusun dari nama Indragiri. Siak itu sungai, Sri itu Istana, dan Indrapura itu gabungan dari daerah ini Indragiri dan di seberang sungai sana itu Mempura. Digabungin jadi Siak Sri Indrapura” Yuma menjelaskan sambil menunjuk tempat-tempat yang menjadi bagian penyusun nama Siak Sri Indrapura.

Lagi-lagi Nara dibuat kagum dengan segala sesuatu yang ada di Siak. Namun Nara lebih kagum dengan pemuda yang berjalan disebelahnya itu. Bagaimana bisa di usia yang sama dengannya Yuma bisa memiliki pengetahuan yang begitu dalam bahkan orang lainpun belum tentu memiliki pengetahuan seluas Yuma.

“Yuma... kamu keren. Aku jadi tau banyak hal dari kamu”

“Bukan aku yang keren Ra, tapi Atok. Semua yang aku ceritain ke kamu itu aku dapetin dari Atok. Setelah kamu pindah aku gak punya temen, jadi Atok sering ajak aku kemana-mana dan ceritain semua kisah tentang tempat-tempat yang kita datengin” Jawab Yuma dengan sedikit tersenyum.

“Sekarang giliran kamu Yum yang harus ajak aku keliling ke tempat-tempat yang pernah kamu datengin berang Atok dulu” 

“Dengan senang hati...” Yuma menjawab sambil membungkuk seperti seorang pangeran kepada tuan putri. 

Tak terasa langkah mereka telah sampai di depan bangunan megah Istana Siak Sri Indrapura 

“Kita liat dari luar aja ya Ra, kapan-kapan aku ajak kamu masuk” Tawar Yuma untuk tidak masuk ke dalam istana.

“Kenapa?” 

“Di dalam sana isinya aset berharga semua Ra, kita sekarang lagi keringetan jadi kapan-kapan aja masuk ke dalem kalau lagi bersih, rapi, wangi” 

“Sebagai bentuk rasa hormat dateng ke istana raja ya Yum?”

“Bukan cuma karena gelar raja Ra, lebih tepatnya pahlawan”

“Maksudnya?” 

“Kamu tau gak kenapa kerajaan Siak berakhir?” Tanya Yuma.

“Karena raja terakhir gak punya keturunan kan?”

“Bener, tapi faktor lainnya adalah karena jiwa patriotis dan rasa cintanya raja terakhir yaitu Sultan Syarif Kasim II sama Indonesia, akhirnya setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan Soekarno-Hatta tahun 1945 secara resmi Raja memutuskan buat bergabung dengan NKRI dan mendukung perjuangan mempertahankan kemerdekaan”

“Berjuang bareng pasukan kerajaan Yum?”

“Saat itu dukungan yang dibutuhkan Indonesia bukan lagi perang pakai senapan Ra, tapi lebih ke bantuan finansial biar pemerintahan bisa berjalan dan kemerdekaan bisa dipertahankan. Sebagai bentuk dukungan untuk Indonesia beliau nyumbangin 13 juta gulden mata uang Belanda atau kalau dirupiahin senilai 1000 Triliun Rupiah. Gak cuma itu, beliau juga nyumbangin mahkota kerajaan, pedang kerajaan, mobil Mercedes, dan sumbangan dana buat beli pesawat Seulawah yang fungsinya untuk penghubung logistik antar daerah. Bulan oktober 1949 beliau datang ke Jogjakarta ketemu Soekarno buat nyerahin harta kekayaannya”

“Keren banget Yum, terus selanjutnya gimana?”

“Setelah nyerahin harta kekayaan, beliau memutuskan buat keluar dari istana dan hidup sebagai rakyat biasa. Istana sepenuhnya diserahkan ke negara. Kamu liat bangunan di samping istana itu gak? Itu namanya Istana Peraduan Ra, setelah keluar istana dan gak menjabat sebagai raja beliau tinggal di rumah itu. Hidupnya sederhana karena cuma dapet uang pensiunan 3.000 Rupiah”

“Tapi... uang pensiun itu dapet dari mana? Kan beliau bukan pejabat atau orang yang kerja di pemerintahan”

“dulu sebelum beliau sakit dan tinggal di Istana Peraduan, tahun 1950 beliau sempat tinggal di Jakarta dan dipercaya buat jadi Penasehat Presiden Soekarno. Disana dikasi mobil sama rumah di jalan Pasuruan Menteng. Jadi setelah beliau sakit dan pensiun akhirnya pulang ke Siak dan dapat uang pensiunan sampai beliau wafat dengan membawa gelar Pahlawan Nasional”

“Perjuangan sekeren ini kenapa gak pernah ada sedikitpun ceritanya di dalam buku sejarah waktu kita sekolah ya Yum” Nara sedikit menyayangkan tentang kisah perjuangan Sultan Syarif Kasim II yang tidak dipublikasi. 

“Makanya Ra, gak semua hal itu ada di dalam buku sejarah yang kita baca. Begitu juga kamu, jangan pernah ngerasa gagal karena berhenti kuliah untuk sementara waktu, karena pengetahuan bisa kamu dapetin dimana aja”

“Yuma... sekarang aku tau harus ngapain. Aku mau nulis” Ucap Nara dengan sorot mata yang sangat yakin.

“Kamu mau nulis apa Ra?” Jawab Yuma sambil terkekeh melihat perubahan emosi Nara yang semula biasa saja berubah menjadi sangat bersemangat.

“Aku mau datengin tempat-tempat bersejarah di Siak sama kamu dan nulis semuanya. Soalnya kalau nanti aku atau kamu udah gak ada, tulisan bakal tetep ada Yum. Gak akan ada yang mengenang kita tapi kita bisa mengenang sesuatu dengan tulisan”

Tiba-tiba Yuma berdiri menghadap Nara dengan menyodorkan tangannya seperti ingin mengajak bersalaman.

“mulai besok dan seterusnya, apakah anda bersedia untuk menjadi rekan saya menjelajahi kota Siak?” Yuma berbicara dengan bahasa formal seperti benar-benar ingin mengajak bekerjasama. 

“Bersedia” Nara menyambut jabat tangan Yuma sambil tertawa. 

Setiap nama yang diberikan pasti membawa harapan untuk kehidupan di dunia.  Sebagaimana arti nama Yuma yang melambangkan kebebasan dan inspirasi serta Sayudha yang berarti penyembuh, maka Yuma Sayudha akan menjadi inspirasi dan penyembuh bagi siapapun di sekelilingnya, semoga. Begitu juga dengan Nara yang berarti bahagia dan Delana yang berarti pelindung, semoga Nara Delana dapat menemui bahagia dengan melindungi siapapun tanpa menyakiti. 

 Yuma dan Nara dicukupkan pada kalimat ini. Sampai jumpa di petualangan selanjutnya.