Abusive Relationship : Worth it or Leave it?
Oleh : Annisa Fadhilah
Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga menjadi salah satu topik yang sedang hangat diperbicangkan akibat kasus yang dialami salah satu public figure di Indonesia. Respon terhadap kasus KDRT ini juga menjadi sorotan, pasalnya korban tersebut memilih mencabut laporan dan kembali kepada pelaku atau abuser. Hal ini menimbulkan pro dan kontra dalam respon masyarakat hingga tokoh atau aktor di Indonesia.
Sobat JMPS sudah tidak asing dengan kasus kekerasan atau pelecehan seksual dengan korban perempuan yang cenderung tidak mendapat banyak kekuatan untuk mempertahankan laporannya bahkan memilih untuk tidak melapor kepada pihak-pihak yang berwenang menangani kasus tersebut.
Abusive Relationship merupakan tindakan kekerasan baik secara emosional, fisik, mental hingga seksual yang dilakukan oleh salah satu pihak yang disebut abuser kepada pihak lainnya yang menjadi korban kekerasan untuk mempertahankan kekuatan dan mengontrol didalam suatu hubungan. Menurut hellosehat.com, tingkat kekerasan tersebut bisa meningkat dari waktu ke waktu. Seseorang yang berada dalam abusive relationship baik itu korban maupun pelaku cenderung tidak menyadari dampak yang ditimbulkan bagi diri mereka sendiri.
Dalam artikel ussfeed.com, penelitian dari National Institute of Justice Amerika Serikat mengatakan kalau timing paling berbahaya dalam hubungan abusive adalah saat korban akan pergi meninggalkan pelaku. Beberapa data juga menyatakan bahwa kasus pembunuhan akibat dari kondisi ini dapat terjadi dalam beberapa kasus kekerasan ketika korban hendak meninggalkan abuser. Kita bisa amati dari kondisi tersebut, korban sangat amat dirugikan, berdiri sendiri tanpa perlindungan sehingga cenderung akan kembali kepada abuser. Ini baru salah satu faktornya.
Lantas mengapa hal demikian dapat terjadi? Kemanakah peran masyarakat dan pemerintah dalam melindungi hak-hak perempuan untuk hidup secara aman dan nyaman? Sudahkah peran Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan berjalan optimal?
Menurut Kalis Mardiasih dalam akun media sosial Instagramnya, korban KDRT berada dalam situasi Korban Kekerasan Berbasis Gender merupakan kasus kejahatan kemanusiaan berat dan korban sangat rentan untuk di intervensi oleh pihak pelaku atau abuser. Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam aspek, mulai dari; pertama, sebagian masyarakat Indonesia yang masih memiliki perspektif menjadikan korban sebagai fokus utama dalam berbagai macam media massa maupun informasi mulut ke mulut menjadikan korban khawatir dengan pandangan masyarakat tentang dirinya. Bukan tentang bagaimana hak-hak korban abusive harus diperkuat keberadaannya, tetapi justru menyoroti keadaan korban terkini yang seharusnya diberikan lebih banyak space untuk menenangkan diri. Kedua, penegakan hukum yang belum tegas terhadap pelaku atau abuser dalam kasus Kekerasan Berbasis Gender dan diperlukan adanya penyidik berperspektif korban. Menurut Kalis Mardiasih pula, pencabutan laporan korban KDRT lebih dari pemahaman alasan-alasan kenapa korban kembali ke abuser. Tak hanya kasus KDRT, kekerasan dan pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan juga seharusnya terfokus kepada bagaimana memberikan perlindungan secara menyeluruh kepada korban. Hal ini untuk melindungi korban dari perspektif masyarakat yang buruk serta menghindari intervensi dari pelaku atau abuser yang membuat korban akan terhasut untuk kembali kepada abuser dengan jalan damai atau kekeluargaan.
Dalam jurnal yang ditulis oleh Laurensius Arliman, mencakup beberapa saran pemerintah dalam memberikan perubahan pada pengaturan Komisi Perempuan di dalam Undang-Undang sebagai peraturan yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan kedudukan pengaturan Komisi Perempuan yang hanya di atur dalam Perpres dari segi ilmu perundang-undangan yang berbeda jauh dalam Undang-Undang. Sehingga perlindungan kepada perempuan dianggap kurang menyeluruh karena kedudukan aturannya yang belum tinggi. Kendati demikian, pihak masyarakat dan keluarga juga menjadi salah satu faktor yang ikut mendukung perlindungan perempuan terhadap kekerasan yang dialami. Kemudian, Komnas Perempuan juga dapat bekerjasama dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, lembaga pendidikan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kekerasan yang ada dimasyarakat maupun di dalam keluarga. Kampanye dan sosialisasi kepada masyarakat secara rutin dapat memberikan pengetahuan dan informasi agar mampu memiliki kesadaran dan kepedulian lebih pada kasus kekerasan terhadap perempuan.
Jadi, kalau kamu merasa dalam situasi yang sangat dirugikan dalam hubungan percintaan atau bahkan masuk kedalam tahap abusive relationship, leave it!
Carilah tempat ternyamanmu untuk bercerita, cari dukungan sebanyak-banyaknya dari orang yang kamu percaya, laporkan kejadian tersebut dan jangan biarkan sang abuser memenangkan kembali dirimu yang sudah terlanjur dibuat sakit olehnya. Sebagai seorang perempuan, kita juga harus memiliki kepercayaan bahwa kita memiliki hak untuk dicintai dengan hidup yang aman serta nyaman.