-ephemeral-2

 -ephemeral-2

Oleh : Annisa Fadhilah


“Kenapa?” 

Mulutku tertutup rapat, membiarkan udara dingin malam itu yang menjawab, meski mustahil didengar oleh sang penanya, aku tetap diam, membiarkannya semakin membenciku. Laki-laki ini penuh rasa cinta, namun aku kerap kali membalasnya dengan sejuta hening yang membuatnya kebingungan. Kubuat ia selalu bingung agar pergi, agar ia lelah denganku yang sulit digapai oleh cintanya, tapi justru ia tetap disini, mempertanyakan kebingungannya, mempertahankan cintanya.

“Kenapa cuma diam bahkan disaat aku nanya sama kamu, Sha?”

Tangannya mengepal hingga jarinya memutih, wajahnya tampak merah ditengah gemerlap malam pukul 9 di teras depan rumahku. Pengecut sepertiku hanya mampu menatap lurus kebawah, membiarkan tatapan dan deru napasnya menghujamku sedemikian rupa, membuat batinku terluka-luka karena pada akhirnya aku benar-benar menyakitinya. 

“Kamu butuh aku.”

Aku butuh kamu.

Tapi, kuputuskan untuk tidak membutuhkanmu. Kuputuskan untuk egois. Kuputuskan untuk enggan digenggam olehmu. Kuputuskan untuk berdiri pada kaki dan ragaku sendiri. Kuputuskan untuk tak menggantungkan segala berat dan harsaku padamu. Kuputuskan untuk hancur sendirian-

“Kamu hancur, aku hancur.”

Tapi ternyata kamu sama hancurnya.

“Maaf,” hanya itu yang bisa keluar dari mulut payahku.

Tangannya mengangkat daguku perlahan. Sekarang pemandanganku tak lagi tanah dan sepatu converse putih lusuhnya. Kulihat wajahnya basah oleh air mata, bola mata cantik yang sering aku lihat berbinar ketika menceritakan hari-harinya, kini kulihat penuh dengan air mata. Bibirnya bergetar hebat, keningnya berkerut; lelah, bingung, dan kecewa seakan menjadi perasaan yang akhirnya ia tunjukkan padaku secara gamblang, membiarkanku tahu bahwa aku menyakitinya.

“Just tell me that you need me, I’ll come to you, Sha. Apa susahnya, sih?”

Susahnya adalah aku selalu kehilangan kepercayaanku sejak dulu. Sudah kuperingatkan sejak awal aku adalah pengecut yang sakit, aku si sakit yang enggan sembuh, aku si sakit yang ingin makin terluka. Aku si sakit yang ingin menyakitimu yang penuh cinta. Ini keputusasaan besar, karena kamu hanya mendapatkan sisa percayaku yang sudah habis dimakan waktu.

Tapi aku tak bisa menyatakan itu padanya. Aku hanya diam dan membalas tatapan kacaunya, lagi-lagi berpegang teguh pada diriku yang akan membuatnya kebingungan.

Kubiarkan kami berdua hancur oleh kebingungan, kubiarkan kami berdua berdarah karena tersayat keraguan, kubiarkan kami berdua hancur karena ketidakpastian, kubiarkan jalan ceritanya berantakan supaya enggan muncul banyak tanya.