Masih Menunggu
Oleh: Jasmine Aliyun
“…Hujan.”
Saat gumpalan kapas gelap bersanding bersama cakrawala, tetes kehidupan jatuh serentak. Kini bilik benteng sudah porak-poranda dengan cipratan air membasahi tiap-tiap kubik bangunan.
“Tenangnya...”
Terlalu tenang.
Dalih menyuka roman gelapnya langit, aku tidak memiliki pilihan selain memandang bulir-bulir mengalir menjadikan suatu bekas di antara tanah-tanah yang tertindih.
“Udara dingin selalu membawa rasa kesepian, ya?” Tanyaku entah pada siapa.
Hujan menjadi deraan air yang menyeka panas, sebuah penjaga rahasia di mana kita bisa menangis di balik hujan, berteriak dibalik semua gemuruh hujan terka. Namun, apa itu harus menjadi selimut kelabu seorang diri?
Katanya, tersemat manis indahnya janji masa depan terlukis membersamai angkasa. Penuai kebahagiaan semu berselimut basah.
Katanya.
Kekecewaan mungkin tengah kurasakan. Namun, menahan raga seseorang demi menyelematkan hati, jelas itu tidak akan pernah menjadi keputusan yang tepat selain sakit akan penantian yang tak pasti, seakan menjadi kewajiban beradu dengan nestapa. Menatap seruan hina yang menyayat jiwa, menusuk hingga rindu menyeruak keluar dengan satu tarikan napas gusar.
“Esok harus bisa lebih kuat lagi.”