lost minerva
-ephemeral- special edition
Oleh : Annisa Fadhilah
“hujan,” katanya sambil menarik lenganku
pelan.
padahal nggak apa-apa. ini cuma
rintik air, aku cuma akan menjadi basah, bukan terluka.
“nanti sakit,” ucap laki-laki dengan
kaos hitam dan topi abu lusuh itu sekali lagi seakan tahu isi kepalaku yang
selalu keras setiap berargumen dengannya.
di bawah payung ungu warna
kesukaanku, aku beranikan diri mendongak dan menatap mata sendu itu sedang
memperhatikan langkahku agar tak menyentuh genangan air, manis sekali.
dan, kenapa manusia selalu akan
menyesal ketika perpisahan itu telah tiba di depan kedua matanya?
mari tanyakan padaku yang kini
berusaha keras untuk tidak menangis.
“nanti aku beliin bakso urat yang
kamu suka itu ya, biar hangat,” padahal sudah hangat sejak tadi karena ibu
jarinya mengelus tanganku yang telah terasa dingin.
“tapi jangan di satuin plastiknya
sama cokelat matcha..” aku terkekeh mengingat kebiasaannya mencampurkan plastik
bakso yang masih panas dengan cokelat matcha yang ia beli untukku. ya, meleleh,
lah.
kini aku mendengar tawa kecilnya, “iya,
nanti kan udah bisa beli sendiri.”
kupikir tak apa membiarkan fisikku
sakit cuma karena hujan, dibandingkan harus ditinggalkan orang menyebalkan tapi
manis ini pergi tanpa basa-basi lagi. ia selalu menerima rasa ku, ia selalu
bertahan sejak awal olehku yang penuh ragu dan bimbang, sampai akhirnya aku
tahu kapasitas sabar dan luasnya hati semakin sempit. dunia nya tidak hanya
tentang keegoisan ku bukan?
maka, sejak hujan di sore hari yang
sangat mendung itu, kubiarkan mentariku pergi selamanya, kubiarkan ia mencari
kebahagiaannya, sambil kupeluk rindu yang akan terus kubawa, tak berharap
kembali bersinar, tapi kupastikan takkan lagi melukainya.
to be continued..