-ephemeral-4
Oleh : Annisa Fadhilah
"Ne,
menurut kamu, kenapa aku masih disini?" Pertanyaan Rezon menusuk Reanne
yang sedang menghirup udara dingin malam itu.
Mata
cokelat terang itu menatap lekat gadis dengan wajah pucat didepannya yang
sedang menunduk, menutupi getaran bibirnya, takut. Gadis itu menatap jari-jari
kakinya yang di selimuti pasir pantai pada pukul tujuh malam. Dingin. Tak
bernyawa. Mencekat tenggorokannya yang semakin kering menuju perih.
Reanne
takut ketika harus menyakiti Rezon (lagi).
Bodohnya,
Rezon tak pernah peduli itu. Hatinya terlalu kokoh untuk bertahan pada apa yang
ia yakin ia cintai. Laki-laki dengan rambut yang sudah mulai memanjang itu tak
pernah peduli bahwa mencintai Reanne adalah sebuah kesalahan.
Jauh
dalam lubuk hati Rezon, setiap melihat sosok gadis dengan tinggi badan yang
hanya sampai pada dadanya itu, ia akan selalu jatuh cinta, meskipun entah
berapa kali cintanya dihantam ombak, pedihnya, cinta itu enggan menghilang.
Mereka
berdiri di pinggir pantai tempat mereka sehabis menikmati jagung bakar manis
ditaburi keju kesukaan Reanne pada langit yang sudah menggelap pertanda malam
ternyata tiba, hembusan angin pantai yang menusuk, kini menerpa keduanya dengan
lembut. Suara ombak yang tak terlalu bising seakan menjadi pemeluk suasana nan
dingin yang dirasakan oleh kedua manusia yang kini sedang berkecamuk dengan
hati dan pikirannya masing-masing. Si sabar yang kehilangan batas dan si lelah
yang tak tahu batas, ternyata jadi perpaduan memilukan yang seharusnya di buat
usai sedari awal.
Reanne
memaksa senyumnya, masih menunduk. "Aku nggak pernah minta kamu buat tetep
disini, Re."
Malam
itu Rezon seharusnya (lagi-lagi) tahu, bahwa kehadirannya tidak akan pernah di
dambakan oleh Reanne. Gadis itu terlalu jauh. Hati, pikiran bahkan jiwanya
terlalu jauh. Seluruh jiwa dan raganya ada di masa lalu, menutupi rasa
bersalah, menganggap bahwa tidak berpindah pada cinta yang baru adalah penembus
dosa paling manjur baginya.
Reanne
membantah segala pikiran dan nasihat bahwa dirinya telah melakukan kesalahan.
Gadis itu menyakiti dirinya sendiri.. dan Rezon.
Kepalanya
mengadah keatas, menatap sosok pria tinggi penuh pesona dan kasih sayang setiap
harinya hanya untuk seorang Reanne. Ia melihat mata itu, itu adalah mata
cokelat terang yang pemiliknya pernah memberikan ciuman penuh ketenangan disaat
jiwa dan raganya terombang-ambing di tengah lautan biru penuh badai. Hati
Reanne remuk, mereka hancur didalam sana, saat melihat Rezon justru membalas
tatapan perih Reanne dengan senyumnya paling tulus dan mendalam, seakan Rezon
adalah laki-laki paling bodoh di dunia ini karena membiarkan hati sucinya di
robek-robek oleh Reanne sejak ia memutuskan untuk memberikan tisu wajah kepada
Reanne yang menangis karena perutnya nyeri di halte depan kampus.
Rezon
ingin cintanya. Tapi, buruknya, Reanne sudah tidak punya itu.