Pergi
yang Jauh Untuk Pulang
Oleh
: Andiny Mesopiana D.
Ada kalanya seseorang berhenti
melangkah, melangkah untuk memulai bahkan melangkah untuk mengakhiri. Ketika
pikiran tak lagi selaras dengan hati, atau hati yang tidak bisa diselaraskan oleh
pikiran. Mencoba melangkah dan berargumentasi
adalah satu satunya jalan untuk meraih celah yang belum terisikan.
Dulu
Ibuku pernah bilang, disaat kita sedang
jatuh, ada banyak hati yang rapuh, dan disaat itu pula seseorang harus
berani untuk memberi nyawa dan mengembalikannya dengan utuh. Artinya, disaat
kita merasa jatuh dan berada pada titik lemah dari hidup, kita harus membangun
dinding dari kekuatan kita sendiri. Sendiri untuk menjadi yang lebih baik,
sendiri untuk menjadi yang lebih kuat, dan sendiri meneliti apa yang harus diperbaiki.
“Kenapa harus jadi
kuat, Bu?”
“Karena setiap jiwa yang kuat, maka
ia akan dapat menemukan masa depannya
sendiri.”
Katanya, setiap jiwa
yang bersatu terdapat banyak perbedaan. Berbeda dalam memahami bahkan berbeda
dalam beropini. Setiap manusianya pasti punya cara untuk memahami dalam ruang
dan dimensi. Ini bukan soal materi yang harus dikerjai ataupun dimengerti.
Tetapi soal perbedaan untuk saling dilengkapi.
Aku bukan seorang sajak
yang ditargetkan oleh ambisi, melainkan setengah manusia yang belajar untuk
tidak menuruti emosi. Hidup berdampingan oleh perbedaan, membuat jiwaku menjadi
lebih kuat dari terumbu karang. Seolah menjadi tegar dengan mantra ajib “baik-baik
saja” dalam pelupuk hati yang cukup rentan. Dengan begitu, aku akan lebih tenang
dari biasanya. Bahkan mantranya cukup membius setengah dari sekujur tubuhku
yang mati untuk hidup kembali.
“Aku akan baik baik
saja, ini akan baik baik saja, ini akan baik baik saja.”
“Dan semuanya memang akan baik baik
saja.”
Gadis yang sama, binar
matanya menggambarkan kegembiraan. Senyumnya melukiskan guratan emosi dari apa
yang ia lalui. Perjalanannya panjang, langkahnya jauh bahkan melampaui batas
kemampuan dirinya.
Apa mungkin setiap
manusia yang dilahirkan di dunia ini terus hidup di dalam lingkaran hangat? Aku
rasa bukan saatnya. Ketika manusia telah menginjakkan kakinya di dasar lautan,
mengibaskan lengannya menentang arus, dan mencoba bertahan dengan masirnya
garam laut, itulah makna tersirat kehidupan.
Bukan seberapa kuat
kita bertahan, tapi seberapa yakin kita untuk mempertahankan. Ini soal seleksi
alam, semakin banyak pijakan semakin
kuat pula ia bertahan. Sama seperti deras air mengalir, tak peduli seberapa
banyak rintangannya. Selama tekadnya kuat, disitu pula keberhasilan datang
menjemputnya.
Pada dasarnya, ketika
seseorang dilahirkan di dunia, ia sudah dapat memilih. Kapan dirinya berada
dalam kebebasan, atau terjebak mengikuti keinginan. Keinginan yang dimaksud,
bukan tentang bagaimana kita berdiri pada prinsip diri kita sendiri. Melainkan,
pada perintah atau pertentangan ilusi. Setiap manusia sudah memilih garis
takdirnya, dan disaat itu pula kita harus menerima akan akibatnya. Semua memang
ingin dimiliki oleh manusia, tapi tawa tak pernah cukup dengan kata sempurna. Sama halnya
dengan bebas, ia hebat tanpa imbas, dan kembali mati tanpa lepas. Semua memang
selalu beriringan dengan porsi yang pas.
Pergi Jauh Untuk Pulang,
kuhabiskan sepenggal kisah pada bait cerita di secarik kertas Daluang usang
milikku. Semoga nantinya, barisan tulisanku akan menjadi serangkaian harapan yang
seindah uluman senyum hangat miliknya.