Sumber Cuan Malapetaka di Era Digital Lewat Revenge Porn

 

Sumber Cuan Malapetaka di Era Digital Lewat Revenge Porn

Oleh Annisa Fadhilah

 

            Di era digital saat ini, hampir sebagian besar dunia masyarakatnya menggunakan internet dan media sosial sebagai bagian dari kehidupannya. Bahkan tak jarang, media sosial menjadi tempat masyarakat berkreasi hingga berbisnis, keuntungan ini jelas memberikan dampak bagi masyarakat yang mengikuti perkembangan zaman dengan penggunaan yang tepat. Dengan begitu banyaknya, keuntungan masyarakat dalam aktif ber-media sosial, ada banyak sisi gelap dunia digital yang mengerikan. Salah satunya adalah Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang menjadi isu panas masyarakat dan para ahli di era ini. Dikuti dalam Jurnal UPNYK, SAFEnet tahun 2019, KBGO dikatakan sebagai tindakan yang membuat seseorang tidak aman, menyerang gender atau seksualitas seseorang yang difasilitasi oleh internet dan teknologi.

Masyarakat terutama kelompok pengguna aktif media sosial kini seringkali mendengar perihal fenomena Revenge Porn yang mulai meresahkan. Beberapa waktu ini, kita mendengar kasus-kasus Revenge Porn di media sosial, baik itu pengguna media sosial secara umum hingga public figure seakan-akan semakin berjalannya waktu, kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) semakin meruak ke permukaan dan menjadi limbah dalam ruang lingkup masyarakat yang meresahkan. Dalam pramborsfm.com mengatakan bahwasanya dari laporan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan tahun 2022, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di internet 6 kali lebih banyak dan hal tersebut termasuk kasus Revenge Porn. Matsuri (2015:298) mengatakan bahwa Revenge Porn merupakan pornografi dengan memanfaatkan kepemilikan materi pornografi secara “sah” namun disebarluaskan dengan tujuan “balas dendam” setelah putus hubungan. Pernyataan tersebut didukung dari banyaknya kasus Revenge Porn yang secara umum pelakunya adalah mantan kekasih atau orang terdekat dari korban. Hubungan pasangan kekasih seakan-akan membawa malapetaka bagi pihak-pihak yang kehilangan kontrol diri atas penggunaan media sosial.

Dalam kasus-kasus tersebut, beberapa diantaranya memang menjelaskan bahwasanya foto atau video pornografi tersebut direkam atas kesepakatan pihak-pihak yang ada didalamnya. Berkedok untuk “konsumsi pribadi”, “kenangan” dan janji-janji dari pelalu kepada korban bahwa foto atau video tersebut tidak akan disebarluaskan, maka sepakatlah pihak-pihak yang bersangkutan. Hingga pada akhirnya, ketika pihak-pihak bersangkutan berpisah atau berkonflik, ada salah satu pihak yang “merasa diuntungkan” dan jelas sekali pihak lainnya sangat dirugikan. Tujuan dari Revenge Porn ini adalah jelas untuk balas dendam serta untuk mempermalukan korban, hingga membuat korban dikucilkan dari lingkungannya. Hal ini juga didukung oleh rekam jejak digital yang sangat kuat di dunia digital.

            Revenge Porn berkaitan dengan sex ortion (pemerasan seksual). Dalam beberapa kasus yang dipaparkan di media sosial Twitter dalam thread panjang, umumnya Revenge Porn dilakukan untuk balas dendam yang kini mulai berujung pada pemerasan seksual yang berorientasi pada uang. Seakan-akan Revenge Porn bukan lagi tindakan “revenge” atau balas dendam, tetapi, juga menjadi sumber pemasukan uang bagi pelaku. Pelaku yang memiliki foto atau video pornografi korban akan mengancam untuk menyebarluaskannya apabila korban tidak mengirim uang yang diminta oleh pelaku. Pelaku Revenge Porn seakan tidak hanya memanfaatkan foto atau video tidak senonoh tersebut sebagai ajang balas dendam dan menghancurkan hidup korban, tetapi mencari alternatif sebagai sumber penghasilan. Range harga yang harus dibayarkan oleh korban pun ratusan ribu rupiah hingga jutaan. Revenge Porn yang bertujuan untuk menghancurkan hidup korban kini justru menjadi tempat mencari cuan bagi pelaku dengan ancaman-ancaman. Korban yang merasa dirinya terintimidasi dan ketakutan cenderung akan langsung mengirimkan uang yang diminta pelaku, namun, tak jarang foto dan video tersebut tetap tersebarluaskan. Dalam kasus ini, korban Revenge Porn dapat dilindungi oleh UU TPKS Pasal 14 yang mengatur tentang kekerasan seksual berbasis elektronik (Kompas; Prambors). Dan tindak pidana Revenge Porn merupakan pelangaran UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang tertuang dalam pasal 27.

            Pada akhirnya, kesadaran masyarakat bahwa dalam kasus Revenge Porn, diluar kesepakatan pihak-pihak bersangkutan, korban tetaplah korban yang memerlukan pendampingan serta perlindungan baik secara langsung hingga perlindungan hukum adalah sesuatu yang penting untuk dipahami. Dalam kasus KBGO ini, sudah semestinya korban mendapatkan perlindungan yang tepat dan tidak melabeli korban oleh hal-hal yang buruk di dalam masyarakat serta tidak membuka data pribadi milik korban. Pemahaman tentang pentingnya menjaga privasi di dunia digital perlu menjadi salah satu topik penting bagi masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam melakukan setiap perbuatan untuk mengurangi resiko kejahatan seksual berbasis elektronik.

*Bagi yang sedang mengalami kasus demikian, dapat mengirimkan laporannya terhadap Komnas Perempuan yang membuka Layanan dari Senin-Jumat 09.00-17.00 (Ponsel 021129 WhatsApp 08111 129 129)

 

Sumber :

https://www.pramborsfm.com/news/apa-itu-revenge-porn-dampak-dan-hukumnya-di-indonesia

Puspitosari, H., & Kusumaningrum, A. E. (2021). Victim Impact Statement Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Revenge Porn. Jurnal Usm Law Review4(1), 67-81.

Sugiyanto, O. (2021). Perempuan Dan Revenge Porn: Konstruksi Sosial Terhadap Perempuan Indonesia dari Preskpektif Viktimologi. Jurnal Wanita Dan Keluarga2(1), 22-31.

Ratnasari, E., Sumartias, S., & Romli, R. (2020). Penggunaan Message Appeals dalam Strategi Pesan Kampanye Anti Kekerasan Berbasis Gender Online. Jurnal Ilmu Komunikasi18(3), 352-370.