Indonesia dalam Satu Jam
Oleh: Rama Mahesa
Sebelum
membaca, kusarankan agar kamu mengunjungi Braga terlebih dahulu sehingga kamu
sedikitnya dapat membayangkan wujud asli dari sang Bandros, suatu akronim dari Bandung
Tour On Bus. Namun apabila kamu merasa mengunjungi Braga hanya untuk
melihat sosok dari sang Bandros terlalu berlebihan, maka akan kucoba untuk
membuat deskripsi bayangan dari Bandros dari sejauh yang aku ingat. Bayangkan
sebuah bis, tidak sebesar bis DAMRI namun juga tidak sekecil sebuah angkot, kemudian
bayangkan interior dari bis tersebut memiliki interior layaknya bis eropa merah
pada film-film barat yang sering kita tonton sewaktu kecil, dan terakhir
bayangkan bis tersebut berjejer dalam rombongan dengan warna biru, kuning, merah
muda, abu-abu, dan warna cerah lainnya. Kurang lebih begitu gambaran dari
Bandros.
Sebenarnya,
Bandros biasa mangkal di daerah alun-alun Bandung. Entah sejak kapan,
sejauh yang kuingat dulu mereka biasanya menunggu di jalan sebelum Braga. Ya
sudah, aku mohon maaf atas informasi keliru yang sebelumnya kusampaikan. Namun
apabila kamu sudah terlanjur parkir di area Braga, rute pertama yang bisa kamu
ambil adalah dengan jalan kaki menuju arah Jalan Asia Afrika, ditandai dengan
kedai Circle K di perempatan jalan. Dalam menghadapi dilema perempatan
jalan ini, umumnya kamu akan diberikan dua pilihan. Pada pilihan pertama, kamu
bisa menyebrang dan menempuh jalan lurus melewati museum Asia Afrika, dalam
rute ini biasanya kamu akan dihampiri oleh berbagai orang, mulai dari seorang
wanita lanjut usia yang memberimu surat doa dengan imbalan uang hingga seorang
fotografer yang menawarkan jasa foto dengan embel-embel harga murah. Apabila
kamu merasa risih dengan rintangan menghadapi orang-orang di rute pertama, kamu
bisa melanjutkan melalui pilihan kedua dengan cara menyebrang dari perempatan Circle
K lalu belok kanan menuju taman yang dihuni oleh para makhluk
ekstraterestrial meliputi kuntilanak, kuntilanak tanpa kepala, kuntilanak kepala
tiga, Naruto, Sailor moon, Bumblebee, dan makhluk lain, rute yang kurang
direkomendasikan apabila kamu merupakan seorang yang takut hantu.
Setelah
menemukan sosok Bandros, selanjutnya aku perlu mencari Bandros mana yang masih
memiliki bangku kosong. Maklum, waktu itu hari minggu sehingga banyak sepasang
keluarga yang mengajak anak mereka menaiki wahana Bandros. Hingga akhirnya aku
memutuskan untuk duduk di Bandros urutan ketiga, bis kecil berwarna abu-abu
yang masih tidak berpenumpang. Hal pertama yang kusambut ketika menaiki Bandros
adalah kehadiran dari sang tour guide, beliau tengah duduk sembari
memperhatikan telepon genggamnya, mungkin beliau sedang menghafal rute-rute
yang akan kita lewati nanti? mungkin beliau sedang melepas penat setelah
seharian menjadi pemandu wisata? mungkin beliau sedang mengabari teman dan
kerabatnya mengenai aktivitasnya hari ini? Aku lebih sibuk membuat
spekulasi dari aktivitas sang pemandu wisata, berbeda dengan teman sebelahku
yang mencoba membuka dialog dan disambut ramah oleh beliau.
Semakin
siang, Bandros semakin ramai. Penjaga tiket mulai aktif menagih tarif biaya
Bandros.
“Berapa orang? 1?
Oh, dua puluh ribu.”
Setelahnya
Bandros akhirnya melaju, sang tour guide berdiri dan secara riang menyapa
para penumpang. Catat ini baik-baik, pemandu akan menanyakan asal daerah tiap
penumpang ketika memulai wisata sehingga apabila kamu memiliki rencana untuk
menaiki Bandros, siapkan jawaban paling keren untuk asal daerahmu dari
sekarang! Bagaimana aku bisa tahu? Aku belajar dari ketiga pengalamanku menaiki
Bandros, bukan maksudku untuk sombong.
“Siap berkeliling Indonesia dalam satu jam ke depan?” Kata
ajaib lain yang akan pemandu ucpakan setelah menanyakan asal daerah, dibuktikan
dari ketiga pengalamanku sebelumnya, tentunya.
Bis
melaju diantara jalanan macet Asia Afrika. Seusai menyampaikan perkenalan,
pemandu wisata mulai membahas mengenai sejarah hewaniah di Bandung setelah
melihat pria paruh baya yang menenteng ular raksasa di tengah-tengah jalan.
“Ular itu yang pertama tidak untuk dipelihara, yang
kedua tidak untuk dibunuh.”
Wejangan
kecil yang kemudian dilanjutkan bahasan mengenai peran besar ular dalam
membantu warga bandung dalam mengatasi wabah pes pada awal abad 20, dikatakan
sebagai wabah yang jauh lebih parah dari wabah covid yang kuhadapi beberapa
tahun kemarin. Setelah melewati perjalanan dengan bis menyusuri jalan
terpanjang di Indonesia yang menyambung benua Asia dan Afrika, kita tiba di
Jalan Banceuy. Pemandu kemudian mulai menceritakan bagaimana di Jalan Banceuy
yang tengah ramai ini dulunya adalah jalan yang digunakan oleh para kubu
Belanda untuk menyimpan kuda serta tempat dibangunnya penjara untuk para
aktivis, salah satunya adalah Ir. Soekarno. Rasanya aneh membayangkan bagaimana
hanya dalam rentang waktu satu abad lalu, jalan yang tengah dilewati Bandros
ini dipenuhi oleh kereta kuda yang ditumpangi oleh para bangsa Kaukasia
berambut pirang dan coklat muda.
Oh
ya, barangkali kamu lupa, waktu itu adalah hari minggu yang artinya jalan utama
Braga harus ditutup. Lagi-lagi, aku tidak tahu secara pasti kapan aturan ini
mulai dilakukan. Tetapi apabila kamu memiliki rencana untuk berjalan kaki di
Jalan Braga tanpa gangguan macet dan bising kendaraan, cobalah datang kesana di
hari Minggu. Dengan ditutupnya jalan Braga, rute Bandros melewati perubahan
rute.
Ngomong-ngomong soal Braga, tahukah kamu asal-usul
dari nama Braga? Aku sendiri tidak tahu pasti, namun pernah kali pemandu wisata
dari Bandros bercerita bahwa dulu para remaja berbondong-bondong memamerkan
baju yang baru mereka beli di jalan tersebut, sehingga lahirlah Jalan Braga
yang berasal dari kata balaga atau banyak gaya. Sudahlah dengan Braga,
aku yakin tanpa kujelaskan pun kalian pasti sudah hafal bagaimana bentuknya.
Apakah kalian familiar dengan Jalan ABC? Akronim dari Arab, Bumiputera, dan
Cina ini menggambarkan pluralitas kelompok sosial dalam satu jalan yang sama. Pemandu
tidak hanya menjelaskan dalam aspek historis, namun juga sosiologis.
Bis terus melaju sampai menuju Atjeh Straat, jalan
yang sekarang lebih dikenal Jalan Aceh. Beberapa jalan di Kota Bandung
menggunakan nama provinsi, seperti Andalas Straat atau Jalan Sumatera, Molukken
Straat atau Jalan Maluku, Atjeh Straat atau Jalan Aceh, dan Straat-Straat
lainnya. Itulah punchline “keliling Indonesia satu jam” yang dimaksud
oleh sang pemandu.
Bandros merupakan media ajar yang efektif dalam
mengajarkan materi sejarah, ekonomi, PKN, sosiologi, biologi, geografi. Serius!
Apabila aku tidak pernah memiliki pikiran untuk mencoba naik Bandros, aku tidak
akan pernah tahu mengenai keberagaman sosial di Jalan Abc, peran kelompok
transgender dalam sejarah masyarakat Bandung, kondisi rumah kentang yang sekarang
menjadi restoran, penamaan band ST12 yang berdasarkan dari stasiun nomor 12, lokasi
isolasi kelompok Belanda oleh tentara Jepang, lokasi syuting dan tempat tinggal
asli Milea dari seri film Dilan, dan masih banyak lagi. Penyampaian pemandu
yang sangat terbuka, seolah berusaha menyampaikan bahwa seburuk dan sejahat
peran Belanda dalam sejarah, tidak dapat dipungkiri bahwa mereka ikut andil
dalam melukis Bandung.
Tulisan singkat ini tentunya hanya menggambarkan
secuil dari pengalaman menarik langsung dari Bandros, pengetahuan menarik yang
hanya mampu aku tangkap sedikit dari banyaknya tapak sejarah yang tidak pernah
habis diungkap di setiap meternya. Nah sobat JMPS, apakah kalian sendiri pernah
mencoba wahana Bandros ini? atau kalian justru belum pernah melihat wujud
Bandros sama sekali? Apabila kalian kebetulan sedang berkunjung ke Kota Bandung, jangan lupa cobain!