Pertemuan antara Seorang Ayah dengan Anak Sulungnya
Oleh: Zahrany Aulia Suwandi
Di tepian pantai yang tenang dan sepi, terlihat seorang lelaki paruh baya tengah memandang desiran
ombak. Sesekali, ombak-ombak kecil itu menerpa kakinya yang tidak beralaskan apa pun.
Menghilangkan jejak kaki yang ia tinggalkan di pasir pantai.
Sayup-sayup terdengar suara yang memanggilnya. Ia dengan segera memalingkan wajah ke arah suara
itu. Raut wajahnya menampilkan ekspresi terkejut sekaligus terenyuh ketika melihat seorang anak
laki-laki yang sedari tadi memanggil dirinya. Lelaki itu perlahan menghampiri sosok anak laki-laki
tersebut dan mendekapnya dengan erat.
“Ayah! Aku kangen banget sama Ayah.” ucap anak itu seraya memeluk balik tubuh ayahnya.
“Ayah juga kangen sama kamu, Nak. Sudah lama kita nggak ketemu.”
Lelaki itu kemudian mengusap rambut anaknya yang kecoklatan. Beberapa saat kemudian, barulah ia
menyadari putranya sudah tumbuh lebih tinggi dibandingkan saat terakhir kali ia melihatnya, hampir
menyamai tinggi tubuhnya.
Mereka berdua berjalan santai di tepi pantai, melepas rindu layaknya seorang ayah dan anak yang
sudah lama tidak berjumpa. Mata anak itu berbinar menatap laut yang terbentang luas di hadapannya.
Ia berpikir bahwa laut ini sangat berbeda dengan laut yang ada di dekat rumahnya. Kaos hitam yang ia
dikenakan, tersingkap oleh angin laut. Jika ada kesempatan, anak laki-laki itu memercikkan air laut ke
tubuh lelaki yang berjalan di depannya dan akan dibalas oleh sang Ayah.
Putranya berceloteh banyak tentang keseharian yang ia lakukan selama ini bersama ibu dan kedua
adiknya. Tak lupa ia menceritakan tentang kecintaannya terhadap bola basket dan bercita-cita ingin
menjadi kapten tim basket ketika masuk SMA nanti. Lelaki paruh baya itu hanya mendengarkan dari
depan sembari terus berjalan menyusuri pantai.
Anak laki-laki yang tidak mendapatkan respons dari ayahnya kemudian mempercepat langkah
kakinya dan berjalan di samping lelaki itu.
“Ayah kok diam aja? Ayah? Jawab aku, dong!” Sang ayah masih bergeming tidak menjawab.
Ia menghentikan langkahnya, terdiam di atas permukaan pasir. Bibirnya terkunci rapat, matanya
terpejam rapat. Wajah anak itu menunjukkan bahwa sebentar lagi ia akan menangis.
Mendapati sosok di belakangnya tidak lagi berbicara, lelaki itu dengan cepat membalikkan tubuh dan
berjalan ke arah anaknya. Ia menatap anak sulungnya dengan tatapan lembut. Ditatap seperti itu oleh
ayahnya, membuat si anak laki-laki hampir tidak bisa menahan tangisnya. Segera ia meleburkan diri
ke dalam pelukan ayah.
“Ayah benci kan kalau anak laki-lakinya menangis?” tanyanya sembari masih menahan air mata agar
tidak jatuh.
“Ayah nggak benci, kok. Menangislah sesuka kamu.” Mendengar penuturan ayahnya, pecahlah
tangisan dari anak laki-laki itu.
Dengan tangisan yang masih berlanjut, ia kembali bertanya, “Terus, kenapa Ayah nggak respons
setiap kali aku ajak ngomong? Ayah nggak suka kah ketemu aku?”
Lelaki itu menggelengkan kepalanya. “Bukannya Ayah nggak suka, Ayah cuma kaget kenapa tiba-tiba
kamu malah ada di sini. Seharusnya kamu temani ibu dan adik-adikmu. Bukan temani Ayah di sini.”
“Ayah, maaf.” bisik anak itu dalam dekapan ayahnya. Lelaki itu bertanya-tanya mengapa anaknya ini
tiba-tiba meminta maaf kepada dirinya.
“Maaf karena aku gagal menjadi kapten dari keluarga kita. Aku nggak bisa penuhin janjiku sendiri ke
ibu,” ucapnya penuh penyesalan.
“Aku nggak bisa gantiin Ayah. Selamanya nggak akan bisa.”
“Aku kira, aku berhasil bertahan dari gulungan ombak besar itu. Nyatanya, aku kalah. Ombak yang
ganas itu merenggut nyawaku dan membawaku tenggelam. Air laut memenuhi hidung dan mulutku.
Rasanya sesak, aku nggak bisa nafas. Bala bantuan juga terlambat nyelametin aku. Makanya aku bisa
ketemu Ayah di sini.” Anak itu mengangkat kepala dan tersenyum pahit. Tubuhnya bergetar
mengingat peristiwa yang membuatnya meregang nyawa.
Ia sedih sebab berpisah dengan ibu dan kedua adik tersayangnya. Namun, ia juga bahagia bisa
bertemu kembali dengan sosok ayah yang sudah lama meninggalkan dirinya. Selama ini, ia hanya bisa
bertemu dengan ayahnya dalam mimpi. Sekarang, ia bisa melihat lelaki itu dengan mata kepalanya
sendiri.
Setelah mendengar alasan mengapa putranya berada di tempat yang sama dengan dia, sang Ayah balas
tersenyum sedih dan kembali mengusap rambut anaknya. Meskipun putra sulungnya ini sudah
menginjak masa remaja, namun ia masih seperti bocah kecil di mata lelaki itu. Akan tetapi, ia masih
tidak menyangka bahwa si Sulung menyusul dirinya terlalu cepat. Anak itu masih terlalu muda untuk
menjemput kematiannya yang begitu tragis. Hatinya pilu, melihat begitu malang nasib putranya ini.
“Nak, nggak ada satu pun manusia yang tahu kapan, di mana, dan bagaimana cara ia mati. Baik
kematian Ayah atau kamu, semuanya sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Kita sebagai manusia biasa
nggak akan bisa terhindar dari yang namanya kematian,” tutur Ayah sembari menenangkan lelaki
muda yang ada di hadapannya.
“Dan juga, Ayah berharap kamu jangan menyesali diri sendiri, ya. Kamu nggak pernah gagal menjadi
kepala keluarga walaupun sementara. Kamu banyak membantu ibumu, kamu juga berhasil
membimbing kedua adikmu ke arah yang lebih baik. Kamu kuat, kamu hebat. Ayah bangga sama
kamu, Nak. Kamu jagoan Ayah.” ucap lelaki itu dengan bangga sembari menyeka air mata yang
membekas di wajah anaknya. Terlihat si Sulung menyunggingkan senyum tipis kepada ayahnya.
Kemudian, lelaki itu menggandeng tangan putranya dan mengajaknya kembali untuk berjalan
beriringan menelusuri pantai yang tak berujung. Air mata putra sulungnya dengan cepat mengering
karena tertiup angin laut. Bau air laut yang asin menerpa indra penciuman mereka berdua. Tak jauh
dari pasir pantai, terdapat barisan pohon kelapa. Serta hanya sedikit karang yang menghiasi pantai
indah ini. Tidak ada orang lain selain mereka berdua yang berada di tempat indah itu. Seperti itulah
gambaran tempat peristirahatan terakhir mereka. Damai dan tenteram.
Sudah bermil-mil jauhnya mereka berjalan dengan kesunyian hingga sang Ayah memecah keheningan
di antara mereka.
“Ayah juga mau minta maaf ke ibu, adik-adikmu, khususnya ke kamu. Karena Ayah, kalian harus
kehilangan figur Ayah padahal kalian masih membutuhkan Ayah di hidup kalian. Ibu kalian juga pasti
kesusahan harus merawat se isi rumah beserta kalian bertiga dan mencari nafkah sendirian.” ucap
lelaki itu dengan mata berkaca-kaca.
Si Sulung menepuk pundak ayahnya, sontak keduanya berhenti berjalan. Tidak ada yang berbicara
saat itu, hanya terdengar deburan ombak dan kicauan burung camar di atas langit.
“Ayah nggak salah. Ayah sendiri kan yang bilang kalau nggak ada satu pun manusia yang tahu
kematiannya. Memang hidup kami berempat awalnya pontang-panting semenjak kepergian Ayah. Aku berusaha kuat nggak nangis di depan ibu. Kenyataannya? Aku diam-diam nangis pas nggak ada siapa-
siapa. Tapi aku sadar, aku harus bersikap dewasa biar nggak nyusahin ibu. Aku juga ajarin adik-adik
aku buat mandiri biar saat ibu atau aku pergi duluan, mereka nggak akan kehilangan arah.” Ia menarik
nafas panjang setelah menuturkan semua unek-unek yang ada di dalam pikirannya, meskipun saat ini
ia sudah tidak perlu lagi untuk bernafas.
Seusai mendengarkan jawaban dari putranya, lelaki itu tersenyum lega. Benar katanya, anak ini sudah
mengalami proses panjang menjadi dewasa sebelum waktunya. Sayang sekali, anak sulungnya ini
tidak bisa merasakan hidup menjadi orang dewasa. Sang Pencipta memanggilnya terlebih dahulu
sebelum ia menginjak usia dewasa.
“Aku harap suatu saat nanti, keluarga kita utuh kayak dulu lagi, Yah,” ucapnya lagi.
Ayah menolehkan kepala dan tersenyum dengan lembut kepada lawan bicaranya. “Semoga, tapi
jangan terlalu cepat. Ayah masih mau lihat ibu dan adik-adikmu melanjutkan hidup mereka di dunia.”
“Apakah kita juga bisa terus hidup di dalam hati mereka, Ayah?”
“Pasti, Nak. Ayah yakin, kita akan terus hidup di hati mereka. Sampai kapan pun.”
Sepasang ayah dan anak itu bercengkerama sepanjang jalan. Menikmati alam yang tidak mereka
temukan semasa hidup, indahnya berkali-kali lipat dibandingkan dengan yang mereka lihat di dunia.
Ketika si Sulung lengah, lelaki yang berstatus sebagai ayahnya itu mengajak lelaki muda itu untuk
lomba lari. Si Sulung yang sudah terbiasa berlari jarak jauh, berhasil menyalip ayahnya. Mereka
berdua pun tertawa bersama.
‘Ibu, tolong jangan tangisi kepergianku lagi, ya. Aku sudah bahagia di sini bersama ayah. Jadi,
kalian juga harus bahagia meskipun aku sudah tidak ada di sisi kalian.’ ucapnya dalam hati sembari
menatap langit, berharap suaranya terdengar sampai ke telinga sang Ibu.
Selesai.