De Beste Plek Ter Wereld

 

 

De Beste Plek Ter Wereld

Oleh: Rama Mahesa

 

“Kamu bisa menulis tentang kami, kan? Tentang bagaimana dulunya di sini, juga tidak adil dan sungguh disayangkan semua ini dirusak? Suara kami tak pernah didengar karena kami cuma penghuni kampung kumuh. Tapi, kata-katamu setidaknya masih akan mendapat perhatian! Kamu bisa menceritakan kisah kami pada dunia.” – Tikus.

Selama satu tahun, Roanne van Voorst tinggal di Bantaran Kali yang merupakan salah satu perkampungan tepi bantaran sungai di Jakarta untuk melakukan disertasi mengenai respon masyarakat dalam menghadapi dan bertahan dari banjir yang menimpa Jakarta di setiap tahun. Sepanjang penelitiannya, Roanne kemudian akrab dengan warga-warga sekitar yang diberi nama samaran berupa Tikus, Enin, dan Neneng dengan peran masing-masing dalam struktur masyarakatnya. Memoar perjalanan penelitian Roanne kemudian ditulis dalam suatu buku dengan judul “Tempat Terbaik di Dunia”.

Sebagai seorang antropolog, tulisan Roanne memiliki karakteristik dalam mengenalkan sisi perkampungan kumuh melalui elemen sosialis, yaitu manusia. Misalnya pada bab 2 “Tidur Bersama Portofon”, Ia menggambarkan bagaimana pemilik portofon atau walkie-talkie memiliki peran istimewa dalam menghadapi banjir. Alat komunikasi ini menciptakan hierarki sosial di Bantaran Kali karena warga dengan portofon mendapatkan informasi awal dari petugas pintu air dan dapat berkomunikasi dengan pegawai pemerintahan.

“Status yang dimiliki portofon bukan hanya karena alat itu bisa menangkap informasi tetapi juga karena dengan alat itu, mereka bisa berkomunikasi dengan pegawai pemerintahan. Bagi orang miskin di Indonesia, orang-orang yang bekerja untuk pemerintah adalah orang berstatus tinggi, seperti halnya pegawai kantor pemerintahan, militer, dan juga penjaga pintu air.”                – Roanne van Vorst, Hal. 49

 

Dalam setiap bab, terdapat suatu pesan moral yang membuka persepsi terhadap masyarakat kampung kumuh. Seperti bagaimana masyarakat Bantaran Kali bergotong royong dalam memadamkan kebakaran rumah akibat kabel listrik putus, bagaimana masyarakat Bantaran Kali membangun kembali rumah ilegal mereka di atas bekas puing puing yang hancur hingga berpuluh-puluh kali, bagaimana masyarakat Bantaran Kali menolak subsidi rumah susun karena biaya sewa yang masih jauh dari penghasilan sehari-hari, serta persepsi lain terlepas dari stereotip yang ada.

Roanne menyajikan setiap pengalaman dalam baris-baris tulisan yang ringan dan mudah mengalir. Tidak seperti bacaan artikel atau laporan biasa, buku ini hadir dengan bahasa santai dan diksi yang tidak kaku. Sebagai antropolog, Roanne tidak memberikan penilaian baik atau buruk, benar atau salah, tetapi hanya menggambarkan dan berusaha memahami penduduk kampung sebagaimana adanya. Warga Bantaran Kali yang tergambar dalam buku ini tampak sebagai pribadi yang memanusiakan sesamanya, meski seringkali dipandang dengan prasangka sebagai penghuni kampung kumuh yang dianggap kriminal dan pemalas.

Buku ini memberikan gambaran mengenai kesadaran kelas yang jelas tanpa meromantisasi kemiskinan, suatu tamparan keras bagi orang-orang dengan prinsip hasil mengadaptasi kata-kata tokoh terkenal secara mentah-mentah dengan pedoman “semua orang bisa sukses apabila berusaha” dan tidak percaya akan kompleksitas kemiskinan.

Perlu dicatat bahwa buku ini bukanlah hasil dari penelitian Roanne, untuk membaca hasil penelitian Roanne terkait penanganan masyarakat terhadap banjir Jakarta dapat dilihat pada Get ready for the flood! Risk-handling styles in Jakarta, Indonesia