Jejak Langkah yang Samar

 

Jejak Langkah yang Samar

Oleh: Eldita Rahmayani


Kereta malam melaju pelan di tengah hujan rintik-rintik. Cahaya lampu dari stasiun-stasiun kecil yang dilewati tampak kabur, terpantul di jendela yang berembun. Di dalam gerbong, Nara duduk sendiri, menyandarkan kepalanya di kursi dan memandang keluar jendela tanpa benar-benar melihat apa pun.

Perjalanan ini bukan yang ia rencanakan. Sebenarnya, Nara tak pernah yakin akan tujuannya. Ia hanya tahu bahwa ia perlu pergi, menjauh dari rutinitas yang menyesakkan dadanya. Tak ada peta atau rencana jelas di tangannya, hanya tiket menuju kota yang bahkan belum pernah ia dengar sebelumnya. Tapi entah kenapa, perjalanan ini terasa penting, seakan-akan ia sedang mencari sesuatu yang ia sendiri belum tahu apa itu.

Kereta berhenti sejenak di stasiun kecil di tengah perkampungan. Beberapa penumpang naik, membawa serta cerita mereka masing-masing. Di kursi seberang, seorang pria tua duduk dengan ransel besar di pangkuannya, tampak lelah tapi tenang. Nara menatapnya sebentar, lalu kembali memandang ke luar, matanya mengikuti tetesan hujan yang turun perlahan di kaca.

Pikirannya kembali melayang ke rumah—tempat yang ia tinggalkan tanpa salam atau pesan. Ada begitu banyak hal yang tidak ia mengerti tentang dirinya sendiri, tentang arah hidup yang terasa begitu kabur. Seperti hujan di luar sana, hatinya juga dipenuhi oleh keraguan. Semuanya serba samar, seolah dunia di sekelilingnya hanya bayangan yang lewat.

Hingga detik ini, Nara tak tahu apa yang ia cari dalam perjalanan ini. Jawaban? Kedamaian? Atau mungkin, hanya keinginan untuk melarikan diri? Namun, semakin jauh ia melangkah, semakin ia sadar bahwa pelarian bukanlah jawabannya. Tetap saja, ada perasaan yang membawanya untuk terus maju, meskipun ia belum bisa melihat ujung dari perjalanan ini.

“Ke mana tujuanmu?” suara serak pria tua di depannya membuyarkan lamunannya.

Nara mengangkat bahu. “Saya tidak tahu. Saya hanya… pergi.”

Pria tua itu tersenyum samar, seakan mengerti. “Kadang kita memang harus pergi tanpa tahu ke mana arah kita. Itu bagian dari perjalanan.”

Nara terdiam, mencoba memahami kata-kata pria itu. Ia menatap wajah keriputnya, melihat seseorang yang mungkin sudah melalui banyak hal dalam hidupnya, seseorang yang sudah akrab dengan ketidakpastian.

“Dan bagaimana caranya tahu kalau kita sudah sampai di tujuan?” tanya Nara, tak bisa menahan rasa ingin tahu.

Pria tua itu menghela napas panjang, lalu menatap ke luar jendela sejenak sebelum menjawab. “Kau akan tahu ketika hatimu berhenti bertanya-tanya.”

Jawaban itu menggema dalam pikiran Nara, seperti teka-teki yang belum terpecahkan. Perjalanan ini mungkin bukan tentang tempat yang ia tuju, tapi tentang bagaimana ia bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Tentang menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang selama ini tak terjawab.

Kereta kembali bergerak, perlahan-lahan meninggalkan stasiun kecil itu. Di dalam gerbong, suasana terasa hening. Hanya suara roda kereta yang berderak di atas rel yang memecah keheningan malam. Nara menunduk, memejamkan mata sejenak. Ia tak tahu kapan atau di mana ia akan berhenti, tapi untuk pertama kalinya dalam perjalanan ini, ia merasa bahwa mungkin ketidakpastian bukan hal yang harus ia hindari. Mungkin, justru di situlah ia akan menemukan dirinya.

Perjalanan masih panjang, dan Nara tahu ia belum sampai. Tapi kini, ia merasa sedikit lebih tenang. Hujan di luar terus turun, tapi di dalam dirinya, badai perlahan mereda. Pria tua di depannya terlelap, dengkurannya selaras dengan deru roda kereta. Saat tiba di stasiun berikutnya, pria itu bangkit, menatap Nara sejenak sebelum berkata, “Semoga perjalananmu membawa jawaban.”

Kereta kembali bergerak, dan Nara, meski belum tahu tujuannya, merasa lebih siap menghadapi ketidakpastian. Ia menemukan secarik kertas tua bertuliskan, “Jangan takut pada ketidakpastian. Di sanalah kita belajar menjadi diri kita yang sesungguhnya.”

Nara tersenyum. Jawabannya mungkin bukan tempat, tapi penerimaan terhadap ketidakpastian itu sendiri.

Life's most profound lessons are often hidden in the journey.” Batinnya.