About You

 About You

Oleh: Rafa & Tsani


Dua tahun sudah berlalu, namun aku masih mengingat obrolan kita di Taman pada siang hari itu. Matahari yang terasa hanya berjarak sejengkal dari kepala, tidak membuatku ataupun kamu, beranjak dari bangku Taman tersebut. Kamu, dengan kemeja kotak-kotak kesayanganmu, dan aku, dengan kemeja putih kelonggaranku. Aku ingat, bagaimana kamu bercerita mengenai percintaanmu ketika SMP dimana kamu diputuskan secara sepihak oleh mantanmu. “Jadi, lebih ganteng pacar nya yang baru, atau kamu?” tanyaku setelah mengetahui bahwa mantanmu itu sudah memiliki cowok yang baru. “Jelas aku lah,” ucapmu dengan nada penuh percaya diri sembari merapihkan rambut yang tidak berantakan itu. Aku mengangguk, sepenuhnya setuju dengan perkataanmu.

Dua tahun sudah berlalu, namun aku masih mengingat bahwa kamu lebih menyukai pocky berada di tanganmu dibandingkan rokok digenggamanmu. Katamu, “rokok itu berbahaya, bukan cuman sekedar ke orang yang menggunakannya, namun juga kepada orang-orang sekitar yang menghirupnya. Dan aku ga mau membahayakan diriku dan orang-orang disekitarku.” Aku mengangguk, setuju dengan perkataanmu. Aku suka dengan seseorang yang sadar dan memilih untuk tidak merokok, karena di zaman sekarang ini, sangat susah mencari lelaki yang tidak merokok dan peduli akan hal itu. Aku juga tidak suka dengan asap rokok, karena itu membuatku sesak, juga baunya tidak enak. Dan kamu, tahu akan hal itu. “Aku lebih suka pocky, udah enak, murah, gak berantakan lagi kalau makannya,” ucapmu sambil mengunyah pocky rasa coklat di mulutmu. “Dih kok jadi promosi gitu sih,” balasku. Dan kita tertawa karena hal itu. “Eh iya, mau tau gak alasan lain kenapa aku gak mau merokok?” tanyamu. Aku mengangguk, “Kenapa tuh?” Kamu mendekatkan dirimu ke arahku sambil melihat-lihat kondisi sekitar, takut jika ada orang lain yang mendengar. Suaramu halus, pelan, namun aku dapat menangkap perkataan itu dengan jelas. Hanya dua kata, namun berhasil membuat dua sudut bibirku tertarik dengan sempurna. “Demi kamu.”

Dua tahun sudah berlalu, namun aku masih menyimpan gelang pemberianmu, aku masih mengingat tanggal ulang tahunmu, aku masih mengingat bahwa kamu suka bermain basket, aku masih mengingat kamu suka bermain gitar bersama om mu, aku masih mengingat bahwa dulu kamu pernah ikut cover dance kpop dengan temanmu, aku masih mengingat kampus dan jurusan impianmu, aku masih mengingat janji kita untuk selalu berkabar jika kita sudah keterima di kampus impian kita masing-masing, aku masih mengingat semua tentangmu, tentang kita.

Hari ini, aku kembali menceritakanmu kepada Bila, teman sekelasku di SMA yang pernah aku kenalkan kepadamu dulu, walau aku yakin bahwa sekarang kamu tidak mengingat yang mana orangnya. Kami berada di kamarnya, baru saja menyelesaikan The 21th Century Girl, film korea yang endingnya tidak seindah awalnya. Lagi-lagi, aku bercerita bagaimana aku yang masih terus menerus dihantui oleh kenangan kita. Walau dua tahun sudah berlalu, namun bagiku, kamu tidak dapat terganti oleh siapapun.

“Reva,” Bila berbicara sambil memegang kedua tanganku, helaan nafasnya terdengar begitu berat, berkali-kali ia terlihat ingin melanjutkan bicaranya, namun berkali-kali juga mengurungkan niatnya.

Aku menatapnya tanpa kedip, berusaha mendengarkan dengan baik, karena aku tahu kini dia sedang berbicara serius kepadaku. “some people come into your life as blessings, and others come into your life as lessons.” lanjutnya setelah diam menyelimuti kami berdua. Aku tidak membalasnya, berusaha memberikan dia kesempatan untuk melanjutkan kembali ucapannya. “Artinya, ada beberapa orang yang datang ke dalam hidupmu sebagai berkah, dan beberapa lainnya, datang ke dalam hidupmu sebagai pelajaran. Dan Sea, adalah bagian dari orang yang datang ke dalam hidupmu sebagai pelajaran. Di awal dia memang datang dengan membawa bahagia bagimu, namun sekarang? Dia meninggalkanmu dengan luka-luka yang tidak dapat sembuh hanya dengan kata maaf darinya. Lupakan ya va, lepaskan. Hidup ini masih panjang, jangan biarkan dirimu terus berada dalam kekangan yang kamu buat sendiri. Jangan terus mengingat seseorang yang bahkan sudah tidak lagi berada dalam dekapmu.” Bila berhenti sejenak, mengatur nafasnya, sedang aku masih diam membisu. “Reva, dia sudah bahagia dengan yang lain, dia sudah bahagia dengan pilihannya, dan kamu juga harus mencari bahagiamu kembali. Yang pasti, bukan lagi di dia”

Aku pernah membaca suatu quote yang mengatakan “Level tertinggi dari mencintai seseorang adalah mengikhlaskan dan membiarkan dia bahagia dengan pilihannya. Bukan tidak ingin lebih berjuang, melainkan karena kita pun tahu, bahwa diperjuangkan sekeras apapun, tidak akan mengubah apa-apa.”

Sea, aku memang masih belum bisa melupakanmu, namun kamu berhak untuk mencari bahagiamu kembali. Karena bila kamu bahagia, maka aku akan turut bahagia. Walau aku harus kenyataan pahit, bahwa bahagiamu kini bukanlah diriku. Kini, aku akan memulai membuka lembar baru, yang isinya bukan tentangmu lagi. Aku akan memulai membuka lembaran baru, dimana aku akan kembali fokus pada tujuanku, dan memulai mencari bahagiaku kembali. Sea, terimakasih untuk semua sedih, senang, sakit, bahagia yang dulu kamu berikan padaku. Sea, terimakasih, karenamu, aku belajar bagaimana caranya untuk mengikhlaskan sesuatu yang memang bukan untukku. Darimu, kini, aku akan mulai belajar berjalan meninggalkan dan menerima apa yang sudah berlalu.

Terimakasih sekali lagi, aku bahagia pernah menjadi bagian dalam ceritamu, walau hanya sesaat.



    “Dalam bisu senja yang bersinar lembut, ada senyum yang terlukis di atas bayang-bayang kita. Tersenyumlah, kekasih, karena aku merindukanmu dengan setiap hela nafasku yang menunggu. Di setiap hela, aku mencari jejakmu, namun tak bisa menemukannya selain dalam setiap kenangan yang tetap hidup dalam ceritaku, seakan waktu tak pernah menghapuskanmu, bahkan dalam diam aku mencari keberadaanmu.
    Saat mata kita terpejam dalam mimpi yang penuh harap, aku masih menemukanmu dalam setiap kilau bintang yang menari di langit malam. Setiap denting waktu yang berlalu adalah melodi yang memanggilmu, kehadiranmu terasa dalam tiupan angin yang menyentuh lembut kulitku. Tak ada yang benar-benar hilang, karena aku dan kamu ada dalam setiap detik yang telah terlewati bersama, seakan dunia berhenti hanya untuk kita berdua.
    Namun, kenanganmu adalah abadi, tak terhapuskan oleh jarak atau waktu. Bagaimana bisa aku terbang, jika sayapku terikat pada kenanganmu yang telah memberikanku hidup? Dalam pelukanmu yang tak terlihat, aku menemukan segala ketenangan. Kenangan ini tetap terjaga, yang tak akan menghilang meski bintang-bintang menghilang. Ia tetap akan terjaga dalam setiap nafas yang tak berhenti, meski tubuh kita tak lagi bersatu.
    Kau adalah satu-satunya cahaya yang menerangi jalan-jalan sunyi dalam hidupku. Tidak ada kenangan lain yang bisa menggantikanmu, tidak ada yang tau hobbyku selain kamu. Di cerita hidupku, hanya ada kamu, satu-satunya yang terukir dalam setiap alunan takdir yang kita ukir bersama. Karena dalam dirimu, aku menemukan sosok yang belum pernah temuin seperti dirimu, tempat dimana kenangan ini selalu terukir, abadi selamanya.“