Nostalgia Rasa Di Balik Meja : Perjumpaan Kita Tidak Abadi
By Leo
Bandung At Night
Bandung yang mempertemukan kita,
Bandung jugalah yang memisahkan kita. Tempat yang penuh
dengan hiruk-piruk yang tak kenal lelah, bukan hanya menjadi ruang aktivitas
manusia, tetapi juga menjadi sebuah tempat yang merekam remah-remah asmara yang
berceceran dan tak mungkin bisa bersama. Bandung, kota impian penuh dengan
berbagai warna perasaan. Tempat ini menjadi saksi bagaimana rasa cinta ini
menemui jalan yang buntu, namun justru dari situlah aku menemukan kebahagiaan
sejati.
Pijar
lampu di kawasan ini terlihat berjejer di sepanjang jalan. Cukup untuk
memberikan pencahayaan di taman temaram yang dikelilingi oleh pepohonan rimbun. Angin datang menerpa, sejuk membawa embun
yang cenderung dingin. Kota ini memang identik dengan banyaknya pohon yang
berjajar di ruang publik. Membuatnya selalu dalam kondisi basah dan lembab.
Kala
itu, Langit Bandung tengah dirundung oleh kesedihan. Wajahnya muram dengan
warna kelabu yang tertutupi oleh kapas mendung dan tercoreng oleh garis-garis
awan hitam. Sisa dari awan hujan yang sedari tadi terus mengguyur tempat ini.
Bandung masih dalam kondisi
yang sama. Tempat
yang bagiku selalu
merintih pelan dipeluk
oleh dingin dan sunyinya
malam. Tempat ini masih sama semenjak aku menjejakkan kaki di lantai aspal
yang kerap basah oleh rintik hujan. Tak ada yang berubah namun justru makin
indah, seindah purnama yang sekarang tengah menggantung malas di atas tirai
langit setelah hujan tadi.
Diantara ramainya suara
kendaraan yang saling
bersahutan diluar serta
kemacetan yang menggema di jalanan, Aku duduk di Cafe langgananku. Mengamati
dalam diam ditemani
oleh musik syahdu, berbagai hiruk-pikuk kota dari
balik kaca jendela.
Bersama Bandung yang terus-menerus sibuk, Pikiran ini ikut tersibukan juga. Bukan sibuk oleh macetnya kendaraan maupun asap yang membumbung dari knalpot motor, namun sibuk oleh seberkas bayang samar yang melintas di depan ingatanku.
Tak terasa sudah lama waktu berlalu, namun kenangan bersamanya seolah tak pernah pupus dari memori ingatan. Aku masih bisa mencium samar wangi parfum yang pernah dikenakannya, Walau aroma itu sudah hilang sejak pertemuan terakhir aku dengan dirinya. Meja kaca tempatku berdiam diri seraya termangu bisu ini, adalah saksi pertama dari rajutan hubungan yang mengikat aku dengan dia.
Dalam lamunan ditemani rinai hujan, pikiranku kembali menjelajah serpih kenangan masa silam.
“
Kamu tau engga, bedanya kamu ama bulan? “ Kataku pada dia yang tengah fokus
membaca buku. Kala itu langit malam Bandung dalam kondisi yang cerah, dengan
awan-awan ungu yang menebari samudera semesta yang penuh dengan taburan kristal
bintang.
Dia
sesaat menghentikan aktivitas membacanya, matanya yang agak sipit melirik ke
arahku. alisnya terangkat sebelah. Mungkin tanda jika dia penasaran.
“ Hmmm…engga. Emang apa bedanya? “ Ujar dia sembari mengamati wajahku
penuh tanda tanya.
“ Kalo bulan itu diciptain buat nerangin sang malam ketika terkurung
gelap, Tapi kalo kamu diciptain buat jadi terang bagi hidup aku wkwk, canda…,“
ucapku yang langsung disambut oleh tatapan bosan darinya.
Ah
sialan, pasti rayuanku ga mempan buat dia. Hufff…nasib jadi cowok yang ga
pandai ngerangkai kata-kata romantis gini nih.
“
Gombalannya garing sih…Tapi aku suka kok, “ Balas dia yang lantas tersenyum
tipis hingga memunculkan lesung pipit di pipinya.
Aku tersenyum dan dia pun ikut tersenyum. Kami tenggelam dalam senyum
yang muncul begitu saja saat tatapan kami saling beradu. Sementara di luar,
Bandung merintih oleh segala aktivitas yang seolah tiada
henti. Namun aku tidak memperdulikan itu, yang aku pedulikan adalah
dia yang sekarang ada di
depanku.
Dia
yang senyumannya aku rindukan. Manis dan indah, hingga kadang aku berfikir
betapa beruntungnya aku mendapatkan dia sebagai teman untukku bercerita. Dia
yang bisa memahami segala keresahanku dan dia yang selalu menjadi sumber
penyemangatku saat aku hampir menyerah. sosok yang tak meninggalkanku di tengah
kesepian hidup yang selalu aku lalui.
Malam
itu dan malam-malam dikala senggang, cafe di braga adalah tempat yang cocok dan
pas untuk kami bertemu — sepasang manusia yang sedang berusaha memahami dan
mengenal satu sama lain. Cafe ini juga yang menjadi awal dari pertemuanku dan
dia hingga akhirnya kami menjalin hubungan yang dekat. Hubungan persahabatan yang belum dapat sepenuhnya dikatakan sebagai hubungan asmara.
“ El…, “ Di suatu malam
yang cerah, di Cafe yang sama dan di suasana
Bandung yang masih
sama, aku berkata kepada dirinya.
Ia menoleh, kacamatanya ia turunkan. Kini terang bola mata cokelatnya menatap ke arahku dengan wajah meminta jawaban.
`` Aku mau nanya sesuatu ama kamu…, ``
`` Hmmm…
nanya apa? Dari mukanya kaya serius amat haha…, “ Dia tergelak
melihat tampangku yang mungkin
baginya lucu. Tapi sungguh, aku sedang dalam
mode serius sambil
diriku berusaha untuk menahan
debaran hati yang kian kencang.
Seluruh darah di nadiku seolah memusat di otak,
menjadikan diriku sangat tegang pada saat itu.
Bibirku
terasa kelu dan tanganku bergetar pelan. perlahan, aku menguntai kata. Aku
kembali berucap.
`` Sebenernya…kita tuh apa? `` Tanyaku pada dia. Sesaat hening, musik yang mengalun indah tadi, entah kenapa juga ikut berhenti. Sebuah momen yang terasa mendukung munculnya suasana yang pas untukku meminta kejelasan kepadanya.
Dia terdiam sejenak, matanya memandang lurus ke arahku dengan bingung dan heran.
`` Kita… dua orang manusia yang sedang berhadapan satu sama lain,
Dua orang yang menunggu di halte yang tidak jelas,`` Tukas dia penuh dengan pesan-pesan tersembunyi di dalamnya.
Sorot matanya beralih menatap jalanan yang dipenuhi oleh kendaraan bermotor.
lalu lintas ramai oleh suara klakson bersahutan dan cicit pedagang kaki lima di
pinggir-pinggir jalan.
`` Liat le, orang-orang banyak menunggu di lampu merah itu, mereka
pasti memiliki tujuan yang jelas yang buat mereka rela macet-macetan kaya gitu,
`` Tutur dia padaku yang hanya bisa diam mematung. Bersama dengan telunjuk yang dia arahkan keluar, Aku pun ikut melihat bagaimana
sibuknya
tempat ini di malam hari. Memang braga tidak pernah lepas dari yang namanya
ramai dan macet, apalagi di Weekend.
`` Mereka berjuang
seperti itu karena
mempunyai hubungan yang berarti dengan orang-orang yang mereka sayangi di rumah, `` Aku menambahkan pernyataan dari dia.
``
Hubungan yang penuh makna, entah bersama keluarga, kekasih, dan bahkan teman.
seperti sepasang kekasih yang tadi jalan bersama atau sepasang suami-istri
bersama anak mereka. Memang yah, makna adalah sesuatu yang menghidupkan
kehidupan manusia itu sendiri. Tanpa makna yang jelas, manusia akan mati, ``
ucapnya dengan kalimat yang sangat mendalam.
`` Tapi, untuk
hubungan kita sendiri,
apakah hal itu memiliki arti dan makna selain sebagai
teman biasa el? `` Di tengah suasana yang mendadak berubah sendu itu, di
tengah bisingnya bandung, aku bertanya pada dia yang mendadak terdiam bisu.
``
Maksud kamu, sebagai sepasang kekasih? `` Wajahnya ia arahkan kepadaku dengan
penuh perhatian. Aku gelagapan dan
malu, tetapi dia hanya tersenyum melihat tingkahku yang menjadi kikuk.
``
Percaya dan yakin, jika takdir tuhan menyatukan kita berdua dalam ikatan yang
erat, seberat apapun cobaan hidup yang terus berusaha keras untuk memisahkan
kita, kita akan tetap bersama le. lho, bukannya
kita udah bersama
ya, meski status
kita bukan sebagai
sepasang kekasih? `` Cicit
dia sambil mengenggam tanganku. Membawaku larut ke dalam berjuta-juta kecamuk
perasaan yang tak tentu. Antara bingung, sedih, hingga perasaan kosong tak
jelas bentuknya, memenuhi seluruh ruang hatiku. Apakah ini pertanda jika dia menerimaku sebagai kekasihnya
atau…hanya menganggapku layaknya teman dekat biasa?
Andai dia tahu, sudah lama aku menaruh cinta
kepadanya. Mungkin ketika
aku dan dia bergabung dalam organisasi yang sama di kampus, disanalah perasaan cinta ini muncul
dan bersemi. Namun aku tak berani mengungkapkan isi
hatiku ini. Apalagi setelah aku dengar jika dia pun pernah memiliki luka batin yang sama denganku
: Sama-sama ditinggalkan oleh orang yang kita cintai setulus hati.
Kita
berdua adalah orang yang memiliki trauma dengan cinta. Dan oleh karena itu, aku
ingin menutupi dan menyembuhkan rasa traumanya itu dengan perasaan
tulus yang aku berikan
untuknya.
Tapi kenapa ya, saat keinginan untuk menyatakan rasa kepadanya itu hadir,
keraguan itu juga datang mencegahku?
Kini, hubungan aku dan dia telah terikat kuat, tapi hubungan yang tak
lebih dari teman biasa. Teman yang hanya bisa mendengar curahan hatinya. Teman
yang selalu ada saat dia lelah dan butuh seseorang yang mendengarkan masalahnya. Tapi sampai kapan,
status hanya sebatas
teman ini akan melekat tanpa bisa diubah? entahlah aku pun tidak tahu.
Aku hanya bisa mengagumi dia dalam diam. Di tengah
hening batin yang jauh dari dunia luar, aku
berusaha mengabadikan dia di hatiku. Meski, dia tidak menaruh rasa kepadaku.
Waktu demi waktu berjalan, hubungan aku dengannya kian tak jelas.
Hingga akhirnya di bulan mei lalu, langit
berubah menjadi sendu.
Sendu yang melingkari langit dan juga jiwaku. Di hari itu, tanpa informasi terlebih dahulu dari
dia, aku menerima keterangan jika ia sudah bertunangan dengan pria yang dipilih
oleh kedua orang
tuanya. Di hari itu juga,
sendu di hatiku
berubah menjadi gemuruh yang
gelap. gelap yang membutakan arah hidupku.
Aku
berjalan linglung, Jatuh terhempas dalam kubangan tak berdasar yang membuatku
kesulitan untuk bangkit. Rasanya, semua harapanku akan dia menemui dinding yang
tebal dan mustahil untuk ditembus. Keinginan untuk memiliki dia sepenuhnya adalah
impian yang mustahil
terwujud.
Tapi aku juga sadar bahwa tidak selamanya aku akan terus-menerus kecewa dan putus asa. Hak dia untuk memilih pria seperti apa untuk menjadi pendamping di hidupnya. Aku tidak bisa memaksa. Untuk urusan semacam perasaan tidak bisa dibarengi dengan unsur pemaksaan. Itu egois namanya.
Bagaimana pun juga aku harus bangkit berdiri dan menerima semuanya dengan tabah.
Di
hari pernikahan dia pada hari jumat yang penuh dengan berkah, Aku berdiri bersama dengan para tamu undangan lainnya,
tersenyum gembira dan bertepuk tangan
dengan ria. Aku ikut senang melihat dia tersenyum lebar
berdiri di samping pria yang sangat dicintainya. Tak sadar, jika rasa senang ini keluar bersamaan dengan setetes
air mata yang turun membasahi pipi.
Bukan
kesedihan, melainkan air mata kegembiraan melihat teman dekatku akhirnya bisa
menemukan cinta sejatinya. Hal ini juga menjadi bukti
bahwa dia sudah berhasil berdamai
dengan traumanya akan cinta.
“ El, selamat ya atas pernikahan kamu, “ Ucapku pada dia kala para tamu sedang menikmati makanan yang telah disediakan di resepsi pernikahan ini.
Dia tersenyum di balik baju pengantinnya yang anggun.
“
Makasih juga ya le, semoga kamu juga bisa mendapat perempuan yang tulus, yang
mencintai kamu sepenuh hati, “ balasnya tersenyum manis. Tangannya melingkar
erat kepada tangan si mempelai pria di sampingnya. Sungguh, sangat serasi dan
semoga pernikahan dia bisa bertahan selamanya hingga maut memisahkan.
Buyar
ingatanku oleh alunan musik cafe yang mendadak berhenti dan suara teguran dari
seorang pria kepadaku.
“ Kang, si akangnya mau pesen apa? Dari tadi saya lihat si akangnya ngelamun terus, ada masalah Naon atuh? “ Seorang pramusaji menegurku. Aku sedikit kaget lalu menoleh ke arahnya. Si pramusaji keheranan melihatku yang masih sedikit melamun.
“ Ehh..eummm…saya pesen kaya biasa mas, Cappuccino aja ya, “ ucapku.
“ Oke kang, Eh btw, si akangnya yang sering kesini ya, kok sekarang sendiri kang? kemana pacarnya? “ Sembari mencatat pesanan, si pramusaji bernama Andi ini terus bertanya padaku.
Aku sesaat menoleh ke arah kaca jendela, menikmati sebentar rintik suara hujan, sebelum mengambil napas dan mengembuskannya pelan.
Aku Menjawab lirih.
“ Dia udah bahagia mas, “ Kataku.
Mas
andi nampaknya tidak ingin mencampuri urusanku. Dia bergegas pergi untuk
menyiapkan pesanan.
Dalam lamunan, aku berinisiatif mengambil secarik kertas dan pena, lalu mulai menulis. Memainkan kata dan rasa, tanganku menari dengan gemulai, pena hitam yang menderetkan bait demi bait kata. Kata dan kalimat yang mewakili segala harapan dan pikiran yang selama ini bersemanyam dalam diriku.
Aku menulis untuknya. Ia yang sudah bahagia dengan kehidupannya.
Bersama Waktu, Kenangan
Bersamamu Tak Akan Lekas Berlalu. Biarlah tempat ini menyimpan sisa kenangan
indah yang pernah kita lalui bersama. Meski, diri kamu sekarang telah memiliki tempat yang istimewa
dan berharga di hati pria lain. Tapi aku berusaha untuk tetap menghidupkan
sisa kenangan kita di cafe ini, Di Bandung yang selalu dirundung oleh
hujan di bulan mei.
Tetap bahagia disana bersama
kekasih sejatimu ya el , mungkin benar
yang kamu bilang
dulu, kita memang dua orang yang saling mencintai, namun tuhan sudah menggariskan skenario
yang lain, yang membuat kita
tidak mungkin bisa bersatu. Namun tak apa, aku tetap menerimanya dengan lapang dada kok. Mungkin dengan ini, kamu bisa mendapatkan kebahagiaan yang jauh lebih besar dibandingkan
bersamaku.
Tenang aja el hehe, kamu ga usah
risau dengan rasa sedih yang aku pendam karena kehilangan kamu. Karena
setiap kali hati ini merindukan bayang-bayang kamu, aku akan selalu
setia berjalan pelan melewati
rintik hujan yang membasahi trotoar braga, pergi menuju cafe tempat kita dulu
pernah mengucapkan janji
bersama. Senggaknya, aku ingin tetap
menjaga lilin nostalgia rasa kita dahulu
tetap menyala terang, meskipun itu hanya di hatiku seorang.
Untuk teman hatiku Elana,
terima kasih telah
memperkenalkan dengan singkat
kepadaku, apa itu cinta dan bagaimana aku bisa
mencicipinya. Walau karena ulah cinta juga, Aku harus jatuh ke dalam jurang
keterpurukan dan rasa putus asa, tapi terima kasih untuk segala yang sudah kamu
berikan dalam irama kehidupanku ini.
Bandung, tolong jaga dia untukku,
kenangan bersamanya, tangis dan tawa saat menemaninya, jaga dia bersama segala
nostalgia rasa yang pernah merekam kisah kita berdua.