Review buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer

 Review buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer
 oleh: Frida Nurmarliana



“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” – Pramoedya Ananta Toer

Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer adalah novel pertama dari Tetralogi Pulau Buru. Membaca karya Pramoedya rasanya seperti diajak menyelami sejarah, menelusuri luka, dan menyaksikan perjuangan di masa kolonial melalui mata seorang anak muda bernama Minke. Novel ini bukan sekadar cerita cinta, tapi kisah tentang kebangkitan kesadaran, perjuangan melawan ketidakadilan, dan pentingnya pendidikan. Lewat karakter Minke, aku belajar bahwa pendidikan bukan hanya tentang sekolah, tapi juga tentang keberanian berpikir kritis dan melawan penindasan.

Pramoedya menulis buku ini dalam keadaan terpenjara, dan itu terasa sekali di setiap halamannya. Kata-katanya tajam, emosional, seolah menjadi senjata untuk melawan kebisuan sejarah. Bagiku, Bumi Manusia mengajarkan bahwa pena bisa lebih tajam dari senjata karena bisa membuka mata banyak orang. Membaca Bumi Manusia adalah cara untuk memahami bagaimana bangsa ini pernah berjuang, sekaligus refleksi tentang apa artinya menjadi merdeka.

Aku berharap buku ini terus dibaca lintas generasi. Semoga semakin banyak orang yang mengenal karya ini, melalui Minke dan tokoh-tokoh lain, kita diajak untuk tidak lupa pada masa lalu dan belajar darinya. Kalau kamu mencari buku yang bikin kamu mikir, merasa, dan merenung tentang siapa kita sebagai bangsa, ini adalah buku yang wajib dibaca.