Ribuan Wajah, Satu Sunyi
Karya: Ulwan Naezi Rabbani M Noer
Halo, aku Meisya. Aku adalah seorang perantau dari sebuah daerah kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota. Hidupku sebelumnya sederhana, udara masih segar, jalanan sepi, dan dikelilingi oleh orang orang yang baik dan ramah . Namun, semua itu harus kutinggalkan ketika orang tuaku dipindah tugaskan ke luar kota. Keputusan itu bukan pilihanku, melainkan kehendak mereka. Meski berat, aku akhirnya ikut, membawa semua kenangan kampung halaman yang hangat, menuju kota yang asing, penuh gedung-gedung pencakar langit dan wajah-wajah yang tak kukenal sama sekali. Di sanalah perjalananku dimulai—menjadi bagian dari keramaian, tapi diam-diam memeluk kesunyian.
Hari hari pertama ku di kota berjalan seperti tak ada ujungnya, suasana ramai, penuh dengan kesibukan, suara klakson yang bersaut sautan, dan orang orang yang berjalan dengan cepat seakan di kejar oleh waktu. Walaupun aku merasa aku ada dalam keramaian itu, namun aku sadar, diriku merasakan culture shock yang amat dalam di diriku, Dimana dari banyaknya orang di perkotaan, aku masih merasa kesepian, tak ada wajah yang kukenal, tak sapa hangat seperti di kampung, semua orang terfokus dengan kesibukannya, seakan aku Adalah bayangan yang tak dihiraukan sama sekali.
Di sekolahku yang baru, aku mencoba untuk berbaur dengan teman-teman, mereka ramah, mereka menyapaku, dan mengajak ku untuk berbicara, namun entah mengapa diriku seperti ada jarak, obrolan yang begitu cepat, dengan hal hal yang asing di dengar olehku, seperti tren-tren kota, gosip sana sini, hingga istilah istilah asing yang jarang ku dengar di perkampungan. Aku hanya bisa tersenyum kecil, mengangguk bingung, Ketika mereka sedang bercanda riya, dalam hati ku, aku merasa aku hanya seorang penonton yang sedang menonton panggung mereka.
Sore itu, aku pulang dengan angkutan umum yang penuh dengan sesak penumpang, wajah wajah asing penumpang, tidak ada satupun yang menoleh, Sebagian sibuk dengan gadget nya, Sebagian lainnya menyandarkan kepalanya sambil menutup mata, aku hanya bisa terdiam, merasakan betapa sunyinya diriku di keramaian, seakan akan aku hanya sebuah angin yang terhembus dan tak nampak sama sekali wujud, hadir tapi tak ada satupun yang peduli.
Dalam Langkah pulang itu, aku bertanya pada diriku sendiri, apakah kesunyian ini timbul karena lingkungan kota yang ama tasing bagiku, atau justru karena aku sendiri yang tidak bisa membuka diri terhadap lingkungan baru dan orang orang baru yang ada di sekitarku, aku rindu dengan suasana kampung, rindu akan kehangatan yang di berikan oleh orang orang disana, rindu akan candaan Bersama teman teman di kampung, namun aku sadar, aku tidak bisa selamanya merenungi apa yang sudah aku tinggalkan, aku haru bisa beradaptasi dengan lingkungan baruku ini, di perkotaan.
Di keesokan harinya, aku mencoba untuk berbeda dari biasanya, di sekolah aku mencoba untuk lebih dekat dengan teman teman ku, berusaha untuk tidak menutup diri, di awal memang terasa canggung, namun lama kelamaan aku menyadari sesuatu, bahwa tidak semua orang di lingkungan baruku ini asing sepenuhnya, ada yang menoleh, ada yang menyapaku, dan ada yang membalas senyumku, walau terkesan kecil, tapi ini menjadi sesuatu yang Istimewa, bagiku ini cukup untuk diriku membuka diri dan tidak terjebak di zona nyaman yang selama ini aku selalu rindukan.
Aku paham, seribu wajah bisa membuat kita terasing, dan membuat terjatuh dalam kesunyian, tapi satu wajah yang tulus menyalakan Kembali sebuah harapan. Kesepian memang akan selalu ada di benak kita, Namun bukan berarti kita harus terjebak selamanya dalam kesepian. Di Tengah kesibukan kota ini, aku mengerti, bahwa menemukan arti sebuah hadir bukan dilihat dari banyaknya orang di sekililingku, melainkan dari keberadaan satu sosok yang benar benar peduli peduli.