Terbelenggu
Oleh : Ash
Sejujurnya,
aku tak ingin terus-terusan terbelenggu dalam tubuhku yang lemah ini. Dengan
segala kekuranganku yang membatasi diriku untuk melangkah lebih jauh. Dengan
segala kelemahan yang membuatku takut bermimpi. Dengan segala sakit yang
terus-menerus menggerogotiku.
Kini
diluar, hujan mengetuk-ngetuk jendela dengan ritme yang cepat. Bau obat yang pahit
dan akrab kini menggantung di udara kamar yang remang. Lampu meja memancarkan
cahaya redup hingga bayanganku di dinding tampak panjang. Di atas meja, cermin
kecil yang retak memantulkan wajahku yang pucat. Setiap retakan itu seperti
goresan cerita yang tak kunjung sembuh. Jam dinding yang terhenti pada angka dua
lewat empat belas seolah waktu juga ikut lelah.
Rasanya
sakit. Ternyata dewasa tak seenak yang mereka katakan. Seolah ada tali yang
mengikat tubuhku, yang selalu membatasiku tuk bermimpi lebih tinggi. Mimpi-mimpi
yang sejak dulu aku tanamkan dalam diri, mimpi yang bercahaya bak bintangdi
angkasa.
Aku
mencoba menulis tentang bintang itu tadi pagi. Pena kugenggam, tapi tanganku
gemetar dan huruf-hurufnya berubah menjadi coretan tak berbentuk. Pena itu
terlepas dan berguling, menabrak pot kecil di ambang jendela hingga tanahnya
berhamburan. Tanaman yang dulu kukira kuat kini layu, daunnya rontok seperti
jawaban bisu atas harapanku. Setiap kegagalan kecil itu menambah beban, membuat
tali di tubuhku terasa semakin kencang.
Sepertinya
kini bintang itu sudah redup, termakan ketakutan yang terlalu besar sampai tak
memancarkan cahayanya lagi. Rasanya gelap sekali, gelap gulita, dan tak
terlihat apa pun di sini. Semakin kucari bintang itu, semakin tak kulihat
secercah cahaya.
“Kenapa
kau menyerah begitu cepat?” bisikku pada diri sendiri yang nyaris tak terdengar
di antara bunyi hujan. Aku menatap kembali retakan cermin itu, berharap
mendapat jawaban dari wajahku sendiri. Namun, tidak ada jawaban yang ada hanya
sepasang mata yang lelah.
Sudah
bertahun-tahun aku mencari mimpiku itu, namun hilalnya tak muncul sedikit pun.
Malam-malamku diisi dengan pertanyaan yang sama: kapan aku terakhir benar-benar
berharap?. Dan... mungkin sekarang aku tidak mempunyai mimpi apa pun. Sekadar
hidup lebih lama saja aku sudah tak mengharapkannya. Bahkan aku sudah rela jika
besok atau dalam semenit ke depan aku bertemu dengan-Nya.
Disela-sela
keputus asaan itu, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamar opname ku,
terdengar lembut dan ragu. Aku membeku. Suara itu nyata bukan hanya gema
pikiranku.
“Kau
ada di dalam? Bolehkah aku masuk sebentar?” suara tetangga sebelah terdengar,
basah oleh hujan.
Aku
menahan hasrat untuk mengabaikannya. Dalam beberapa detik yang terasa seabad
itu, aku mengangkat tubuhku yang ringkih, langkahnya goyah, dan membuka pintu.
Seorang
wanita tua dengan payung setengah basah berdiri di ambang pintu, wajahnya
familiar meski tak pernah kami berbicara lebih dari sekadar sapa di koridor. Ia
membawa termos kecil.
“Kupikir
kau mungkin mau teh hangat” katanya sederhana. Tak ada ujaran lain, hanya
sebuah termos dan senyum yang tak meminta apa-apa.
Kami
duduk berdua di ruang tamu yang sempit itu. Ia membuka termos yang kini uapnya
naik membawa aroma manis yang anehnya menenangkan. Kami tak banyak bicara. Lalu
ia menunjuk jam dinding yang berhenti dan berkata, “Waktu bisa berhenti, tapi
kita masih ada.” Kalimatnya sederhana, namun seperti batu kerikil kecil yang
dilemparkan ke kolam yang tenang.
Di
ambang jendela, seekor kunang-kunang tiba-tiba melintas, memberi setitik cahaya
kecil yang bergerak bagaikan sebuah bintang mini, terbang seadanya melawan
gelap. Aku menatapnya lama. Ia memang bukanlah bintang besar di langit, namun
cahaya itu tetap berdetak di udara malam, keras kepala, dan tentunya tak mau
padam.
Mungkin
mimpi tak harus selalu seperti bintang yang bercahaya di langit, mungkin cukup
sekadar kunang-kunang yang menuntun langkah kita pelan-pelan. Mungkin juga
terkadang mimpi itu perlu tidur sejenak dan perlu disentuh oleh hal paling
kecil agar ia terbangun lagi.
Aku
tak tahu apakah lusa aku akan bangun penuh semangat. Bisa jadi tali itu masih
ada, kuat seperti dahulu. Tapi untuk pertama kali setelah sekian lama, setelah
hujan, setelah retakan cermin, setelah jam yang berhenti dan setelah kata-kata
yang menghangatkan kini aku merasakan
sesuatu selain rasa sakit. Hanya sebuah hangat kecil di dada yang samar bagai cahaya
kunang-kunang di ambang jendela.
“Terima
kasih.” aku bilang pada wanita tua itu, padahal ia sudah hampir pergi. Ia hanya
mengangguk, lalu menutup pintu dengan lembut.
Di
balik pintu itu, dunia tetap hujan dan gelap. Didalam kamar, bintangku belum
pulih sepenuhnya. Tapi setidaknya ada secercah cahaya yang kini kuketahui
kecil, mudah diabaikan, tetapi nyata.
Mungkin
besok aku akan menyerah lagi. Atau mungkin tidak. Untuk sekarang, aku akan membiarkan
cahaya kecil itu bertahan, cukup untuk menuntunku membuka buku catatan dan
menuliskan satu kata: “Mencoba.”.